Friday, November 4, 2016

resume Pengantar Pengelolaan Keuangan Negara

1
BAB I PENDAHULUAN
Sudah sejak lama banyak orang berdebat mengenai makna atau pengertian Keuangan Negara, khususnya jika dikaitkan dengan pertanggung jawaban Pemerintah atas pengelolaan Keuangan Negara. Sebagai salah satu badan hukum publik, Negara, sebagaimana layaknya badan hukum, yang diberikan otorisasi untuk menyelenggarakan pemerintahan bagi kepentingan seluruh rakyatnya. Penyelenggaraan pemerintahan ini senantiasa harus didasarkan pada hukum dasar yang tertinggi, yang di Negara Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tidak dapat dipungkiri bahwa penyelenggaraan Negara dan pemerintahan pasti akan membutuhkan dana, yang tidak sedikit. Untuk itu maka diaturlah tata cara dan proses penerimaan uang dan pengeluarannya untuk kepentingan jalannya negara dan pemerintahan. Salah satu ketentuan yang mengatur mengenai masalah pengelolaan keuangan negara ini adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23. Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, setiap tahunnya Pemerintah diwajibkan untuk menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, untuk kemudian dibahas bersama dan selanjutnya disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan dalam sektor financial. Sebagaimana tertuang dalam Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara bahwa asas umum pengelolaan keuangan negara dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan amanat Pasal 23 C Undang-Undang Dasar, Undang-Undang tentang Keuangan Negara telah menjabarkan aturan pokok yang ditetapkan Undang-Undang Dasar tersebut kedalam asas-asas umum dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas umum, asas kesatuan, dan asas spesialisasi maupun asas-asas sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara.
2
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan alat utama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus alat pemerintah untuk mengelola perekonomian negara. Sebagai alat pemerintah, APBN bukan hanya menyangkut keputusan ekonomi, namun juga menyangkut keputusan politik. Dalam konteks ini, DPR dengan hak legislasi, penganggaran, dan pengawasan yang dimilikinya perlu lebih berperan dalam mengawal APBN sehingga APBN benar-benar dapat secara efektif menjadi instrumen untuk mensejahteraan rakyat dan mengelola perekonomian negara dengan baik. Dalam rangka mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan pemerintah negara, sejak beberapa tahun yang lalu telah diintrodusir Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah. Reformasi tersebut mendapatkan landasan hukum yang kuat dengan telah disahkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan Pengelolaan dan tanggung Jawab Keuangan Negara Berbicara mengenai persoalan system pengelolaan keuangan negara tentunya juga tidak dapat mengesampingkan pembahasan soal keuangan negara. Definisi keuangan negara berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Undang-undang Keuangan Negara) adalah: ….. semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Selanjutnya dalam Pasal 2 Undang-undang Keuangan Negara menyebutkan bahwa: Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi:
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan negara;
d. Pengeluaran negara;
e. Penerimaan daerah;
f. Pengeluaran daerah;
g. Kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang Negara, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah;
3
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Dalam perkembangannya, APBN telah menjadi instrumen kebijakan multi fungsi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan bernegara. Hal tersebut terutama terlihat dari komposisi dan besarnya anggaran yang secara langsung merefleksikan arah dan tujuan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, agar fungsi APBN dapat berjalan secara optimal, maka sistem anggaran dan pencatatan atas penerimaan dan pengeluaran harus dilakukan dengan cermat dan sistimatis. Sebagai sebuah sistem, pengelolaan anggaran negara telah mengalami banyak perkembangan.
Dengan keluarnya tiga paket perundang-undangan di bidang keuangan negara, yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggung Jawab Keuangan Negara, sistem pengelolaan anggaran negara di Indonesia terus berubah dan berkembang sesuai dengan dinamika manajemen sektor publik.
Pemerintah telah menerapkan pendekaan anggaran berbasis kinerja, anggaran terpadu dan kerangka pengeluaran jangka menengah pada tahun anggaran 2005 dan 2006. Ternyata masih banyak kendala yang dihadapi, terutama karena belum tesedianya perangkat peraturan pelaksanaan yang memadai, sehingga masih banyak terjadi multi tafsir dalam implementasi di lapangan. Dalam periode itu pula telah dikeluarkan berbagai Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Dirjen dan sebagainya guna menutup kelemahan-kelemahan tersebut.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang disahkan 9 Maret 2003, yang diharapkan menjadi kerangka hukum yang kokoh dalam upaya mendorong terwujudnya tata cara pengelolaan keuangan negara yang bersih dari korupsi. Kehadiran undang-undang ini diharapkan dapat memberikan garis yang jelas dan tegas kepada pemerintah dalam mengatur keuangan dan aset negara.
Mengingat Undang-Undang tentang Keuangan Negara ini masih belum berjalan secara efektif, tetapi sebagai upaya untuk melakukan reformasi perundangan warisan kolonial patut kita hargai, apalagi perundangan sebelumnya sudah tidak mampu menjawab tantangan perubahan zaman. Demikian pula, jika dalam perkembangannya nanti pelaksanaan UU ini tidak dapat mengakomadasi perkembangan yang ada, tentu saja juga harus dilakukan revisi.
Oleh sebab itu, perkembangan pengelolaan keuangan negara jangan sampai ditujukan untuk kepentingan, kemanfaatan, dan keinginan jangka pendek dan keuntungan pihak elit tertentu dalam negara dan masyarakat. Pengelolaan keuangan negara yang mewujudkan dirinya sebagai landasan konsep bagi prospek negara Indonesia. Perpaduan antara kemajemukan dan kesatuan bangsa harus menjadi ciri logis yang mengatur pengelolaan keuangan negara, sehingga konsepsi otonomi daerah sebagai satu basis, kemandirian badan
4
hukum sebagai satu basis, serta negara sebagai basis yang harus diformulasikan dengan baik dan mendukung kegiatan negara.
Era reformasi terus bergerak hingga hari ini, termasuk menyangkut sistem pengelolaan keuangan negara. Terjadinya kebocoran keuangan negara yang jumlahnya bernilai triliunan rupiah, di tengah kondisi anggaran negara yang masih mengalami defisit cukup besar, merupakan sebuah tantangan yang harus kita jawab bersama. Kelemahan peraturan perundang-undangan dalam bidang keuangan negara menjadi salah satu penyebab terjadinya bentuk penyimpangan dalam pengelolaannya.
Tantangan ini telah dijawab melalui langkah konkret dengan kehadiran Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang 9 Maret 2003, yang diharapkan dapat menjadi kerangka hukum yang kokoh dalam upaya mendorong terwujudnya tata cara pengelolaan keuangan Negara yang bersih dari korupsi. Kehadiran undang-undang ini diharapkan dapat memberikan garis yang jelas dan tegas kepada pemerintah dalam mengatur keuangan dan aset Negara. Mengingat Undang-Undang tentang Keuangan Negara ini masih belum berjalan secara efektif, tetapi sebagai upaya untuk melakukan reformasi perundang-undangan warisan kolonial patut kita hargai, apalagi perundangan sebelumnya sudah tidak mampu menjawab tantangan perubahan zaman. Demikian pula, jika dalam perkembangannya nanti pelaksanaan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara ini tidak dapat mengakomodasi perkembangan yang ada, tentu saja juga harus dilakukan revisi. Oleh sebab itu, perkembangan hukum keuangan negara jangan sampai ditujukan untuk kepentingan, kemanfaatan, dan keinginan jangka pendek dan keuntungan pihak elit tertentu dalam negara dan masyarakat., Hukum keuangan negara yang mewujudkan dirinya sebagai landasan konsep bagi prospek negara Indonesia. Perpaduan antara kemajemukan dan kesatuan bangsa harus menjadi ciri logis yang mengatur keuangan negara, sehingga konsepsi otonomi daerah sebagai satu basis, kemandirian badan hukum sebagai satu basis, serta negara sebagai basis yang lain harus diformulasikan dengan baik dan mendukung kegiatan negara Indonesia.
5
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Keuangan Negara dan Keuangan Daerah 2.1.1 Pengertian Keuangan Negara
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan pengertian Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan, yaitu:
1. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
2. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
3. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
4. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
2.1.2 Pengertian Keuangan Daerah Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
6
2.2 Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Keuangan Daerah 2.2.1 Ruang Lingkup Keuangan Negara
Ruang lingkup keuangan negara meliputi:
1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman.
2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga.
3. Penerimaan negara.
4. Pengeluaran negara.
5. Penerimaan daerah.
6. Pengeluaran daerah.
7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah
10. Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.
11. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
2.2.2 Ruang Lingkup Keuangan Daerah Ruang lingkup keuangan daerah meliputi: a. Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman. b. Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga. c. Penerimaan daerah. d. Pengeluaran daerah.
7
e. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah. f. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.
2.3 Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah 2.3.1 Pengertian pengelolaan keuangan Negara/Daerah
Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan negara/daerah.
Kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah, adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan
2. Pelaksanaan
3. Penatausahaan
4. Pertanggungjawaban
5. Pengawasan
Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan Pembangunan Nasional serta memperhatikan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Dokumen rencana pembangunan di daerah yang harus dibuat adalah sebagai berikut:
1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD).
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) merupakan suatu dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun, selanjutnya akan digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah. Dokumen perencanaan tersebut adalah bersifat makro yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan jangka panjang daerah.
Dalam penyusunan RPJP Daerah Kabupaten memperhatikan RPJPN dan RPJPD Provinsi sesuai kondisi dan karakteristik daerah. RPJP Daerah merupakan produk para pemangku kepentingan Daerah, utamanya pihak-pihak yang berkepentingan dengan kondisi daerah pada 20 tahun ke depan, sehingga memiliki visi jangka panjang. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
8
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah merupakan arah pembangunan yang ingin dicapai daerah dalam kurun waktu 5 (lima) tahun, sesuai masa bhakti Kepala Daerah terpilih yang disusun berdasarkan visi, misi, dan program Kepala Daerah. Program dan kegiatan yang direncanakan sesuai urusan pemerintah yang menjadi batas kewenangan daerah, dengan mempertimbangkan kemampuan/ kapasitas keuangan daerah. RPJM Daerah wajib disusun oleh Daerah-daerah yang telah memiliki Kepala Daerah hasil pemilihan langsung (PILKADA).
3. Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD).
Renstra SKPD adalah dokumen perencanaan SKPD yang berjangka waktu 5 (lima) tahun, disusun dalam rangka mengoperasionalkan RPJM Daerah sesuai tugas dan fungsi masing-masing SKPD sesuai bidang urusan yang menjadi kewenangan daerah. Renstra SKPD disusun dengan berpedoman pada RPJM Daerah dan SPM, dengan materi dan substansi utama memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. Setiap SKPD berkewajiban melaksanakan program dan kegiatan untuk mencapai sasaran pembangunan jangka menengah Daerah, dengan tidak mengabaikan tingkat kinerja pelayanan/ pembangunan yang sudah dicapai pada periode sebelumnya.
4. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
RKP Daerah yang merupakan rencana pembangunan tahunan daerah, wajib disusun oleh Daerah sebagai landasan dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
RKP Daerah memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan dan kewajiban daerah, rencana kerja dan pendanaannya yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat, serta deskripsi kinerja pembangunan pada tahun sebelumnya
5. Rencana Kerja SKPD (Renja SKPD).
Renja SKPD yang telah ditetapkan dengan Keputusan Kepala SKPD menjadi dasar dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja peragkat daerah (RKA-SKPD).
Renja SKPD merupakan dokumen rencana pembangunan masing-masing SKPD yang berjangka waktu 1 (satu) tahun, memuat kebijakan, program, dan kegiatan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD yang bersangkutan berdasarkan
9
urusan yang menjadi kewenangan daerah, sasaran (indikator) hasil dan keluaran yang terukur, beserta rincian pendanaannya.
dimana masing-masing dokumen perencanaan di atas terkait satu dengan lainnya, dan juga dengan dokumen perencanaan pembangunan nasional.
2.3.2 Kekuasaan Atas Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah
Kekuasaan pengelolaan keuangan negara dipegang oleh Presiden selaku Kepala Pemerintahan dan sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.
b. Dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.
c. Diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
d. Tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.
Kekuasaan Keuangan Daerah dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD dan kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah.
2.3.3 Penyusunan dan Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
2.3.3.1 Penyusunan dan Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember).
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, meliputi:
1. Belanja Negara
Belanja terdiri atas dua jenis:
10
a. Belanja Pemerintah Pusat, adalah belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan Pemerintah Pusat, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di daerah (dekonsentrasi dan tugas pembantuan). Belanja Pemerintah Pusat dapat dikelompokkan menjadi: Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Pembiayaan Bunga Utang, Subsidi BBM dan Subsidi Non-BBM, Belanja Hibah, Belanja Sosial (termasuk Penanggulangan Bencana), dan Belanja Lainnya.
b. Belanja Daerah, adalah belanja yang dibagi-bagi ke Pemerintah Daerah, untuk kemudian masuk dalam pendapatan APBD daerah yang bersangkutan. Belanja Daerah meliputi:
1) Dana Bagi Hasil
2) Dana Alokasi Umum
3) Dana Alokasi Khusus
4) Dana Otonomi Khusus
2. Pembiayaan
Pembiayaan meliputi:
a. Pembiayaan Dalam Negeri, meliputi Pembiayaan Perbankan, Privatisasi, Surat Utang Negara, serta penyertaan modal negara.
b. Pembiayaan Luar Negeri, meliputi:
1) Penarikan Pinjaman Luar Negeri, terdiri atas Pinjaman Program dan Pinjaman Proyek
2) Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri, terdiri atas Jatuh Tempo dan Moratorium.
Fungsi APBN yaitu:
1. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
2. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
3. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
4. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian.
5. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
11
6. Fungsi stabilitasasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Penyusunan APBN. Pemerintah mengajukan Rancangan APBN dalam bentuk RUU tentang APBN kepada DPR. Setelah melalui pembahasan, DPR menetapkan Undang-Undang tentang APBN selambat-lambatnya 2 bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan.
Pelaksanaan APBN. Pelaksanaan APBN diatur lebih lanjut menggunakan peraturan presiden (alokasi anggaran kantor pusat dan kantor daerah,pembayaran tunggakan, alokasi dana perimbangan, alokasi subsidi) sebagai pedoman kementrian dan lembaga. Setelah APBN ditetapkan dengan Undang-Undang, pelaksanaan APBN dituangkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Berdasarkan perkembangan, di tengah-tengah berjalannya tahun anggaran, APBN dapat mengalami revisi/perubahan. Untuk melakukan revisi APBN, Pemerintah harus mengajukan RUU Perubahan APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR.Perubahan APBN dilakukan paling lambat akhir Maret, setelah pembahasan dengan Badan anggaran DPR. Dalam keadaan darurat (misalnya terjadi bencana alam), Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya.
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN. Selambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir, Presiden menyampaikan RUU tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN kepada DPR berupa Laporan Keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Prinsip penyusunan APBN. Berdasarkan aspek pendapatan, prinsip penyusunan APBN ada tiga, yaitu:
1. Intensifikasi penerimaan anggaran dalam jumlah dan kecepatan penyetoran.
2. Intensifikasi penagihan dan pemungutan piutang negara.
3. Penuntutan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara dan penuntutan denda.
Sementara berdasarkan aspek pengeluaran, prinsip penyusunan APBN adalah:
1. Hemat, efesien, dan sesuai dengan kebutuhan.
2. Terarah, terkendali, sesuai dengan rencana program atau kegiatan.
3. Semaksimah mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan kemampuan atau potensi nasional.
Azas penyusunan APBN. APBN disusun dengan berdasarkan azas-azas:
1. Kemandirian, yaitu meningkatkan sumber penerimaan dalam negeri.
2. Penghematan atau peningkatan efesiensi dan produktivitas.
3. Penajaman prioritas pembangunan
4. Menitik beratkan pada azas-azas dan undang-undang Negara
12
2.3.3.2 Penyusunan dan Penetapan Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Stuktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:
a. Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah terdiri dari:
1. Pendapatan asli daerah (PAD), yang bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. PAD merupakan pendapatan dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan lain- lain pendapatan asli daerah yang sah. Pajak dan retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang telah diatur dalam perundang- undangan mengenai pajak dan retribusi daerah. Hasil pengeloaan kekayaan daerah merupakan pendapatan daerah dari bagian laba dari penyertaan pemerintah daerah. Penyertaan daerah tersebut terdiri dari penyertaan pada badan usaha milik daerah (BUMD), badan usaha milik negara (BUMN) dan usaha milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. 2. Dana perimbangan, yang bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintahan daerah dan antarpemerintah daerah. Dana perimbangan merupakan pendapatan daerah dari transfer dana dari pemerintah pusat berupa belanja untuk daerah. Dana perimbangan terdiri dari : Dana bagi hasil yang meliputi pajak terdiri atas pajak bumi dan bangunan, bea perolehan atas hak tanah dan bangunan, serta pajak penghasilan dan sumber daya alam terdiri atas kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, gas dan pertambangan panas bumi. Dana alokasi umum suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Dana alokasi khusus dialokasikan kepada daerah tetentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah yang telah ditetapkan dalam APBN. 3. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang memberi peluang kepada daerah untuk memperoleh pendapatan selain yang berasal pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan pinjaman daerah. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah merupakan pendapatan dari hibah, dana darurat, dana bagi hasil pendapatan dari propinsi, dana penyesuaian, dana otonomi khusus dan bantuan keuangan dari pemerintah lain.
b. Belanja Daerah
13
Belanja daerah diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu:
1. Belanja tidak langsung
Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja tak langsung terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tak terduga. Belanja pegawai dalam hal ini belanja untuk gaji dan tunjangan secara penghasilan lain yang diberikan kepada pejabat dan pegawai negeri sipil daerah, termasujk di dalamnya pimpinan dan anggota DPRD.
2. Belanja langsung
Belanja langsung, merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang/ jasa dan belanja modal. Klasifikasi belanja sesuai sama dengan klasifikasi belanja sesuai fungsi dalam APBN. Hal ini untuk memudahkan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara.
c. Pembiayaan Daerah Pembiayaan merupakan penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/ atau pengeluaran yang akian diterima kembali dan/ atau pengeluaran terkait dengan kekayaan daerah yang dipisahkan yang digunakan untuk menutup defisit atau menggunakan surplus. Adapun sumber pembiayaan yaitu sebagai berikut. 1. Sisa lebih perhitungan anggaran daerah. 2. Penerimaan pinjaman daerah. 3. Dana cadangan daerah. 4. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
APBD mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Fungsi otorisasi
Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
b. Fungsi perencanaan
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
c. Fungsi pengawasan
14
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
d. Fungsi alokasi
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/ mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
e. Fungsi distribusi
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
f. Fungsi stabilisasi
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
Penyusunan APBD berpedoman kepada RKPD dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Secara singkat, pedoman penyusunan APBD meliputi:
a. Sinkronisasi kebijakan pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Daerah
b. Prinsip dan kebijakan penyusunan APBD dan perubahan APBD
Sinkronisasi kebijakan pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Daerah untuk mencapai sasaran prioritas pembangunan nasional, perlu dilakukan sinkronisasi program dan kegiatan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Selain itu, perlu ada keterkaitan antara sasaran program dan kegiatan provinsi dengan kabupaten/kota untuk menciptakan sinergi sesuai dengan kewenangan provinsi dan kabupaten/kota.
Penetapan prioritas anggaran pengeluaran daerah harus mengacu pada prinsip penganggaran terpadu (unified budgeting). Penganggaran terpadu adalah penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian efisiensi alokasi dana.
Prinsip pengelolaan APBD adalah sebagai berikut:
1. Secara tertib
2. Taat pada peraturan perundang-undangan
15
3. Efektif
4. Efisien
5. Ekonomis
6. Transparan
7. Bertanggung jawab
8. Keadilan
9. Kepatutan
10. Manfaat
Pelaksanaan APBD diatur lebih lanjut menggunakan Perkada (Peraturan Keuangan Daerah) dengan menjabar melalui : (Anggaran pendapatan dan belanja daerah) APBD, cash, budget, standar harga.
2.4 Hubungan Keuangan
Hubunganya dibidang keuangan adalah antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang terdiri dari :
1 Pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah
2 Pemberian pinjaman atau hibah kepada pemerintah daerah
3 Pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintah daerah
Hubungan antar pemerintahan daerah terdiri atas:
1 Bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota
2 Pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama
3 Pinjaman atau hibah antar pemerintah daerah
4 Pembiayaan bersama atas kerjasama antar daerah
2.5 Pembendaharaan Negara
Pembendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahan, serta ditetapkan dalam APBN dan APBD.
Ruang Lingkup pembendaharaan negara adalah kewenangan pejabat pembendaharaan negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja negara/daerah, pengelolaan uang negara/daerah. Pengelolaan utang/piutang negara, investasi dan barang milik negara/daerah.
16
Pejabat Pembendaharaan Negara terdiri dari:
a. Pusat : Menteri Keuangan
b. Daerah : PPKD (Pejabat Pengelola Keuangan daerah)
Penerapan Kaidah Pengelolaan Keuangan yang sehat
Kewenangan menteri keuangan/pejabat pengelola keuangan daerah (PPKD) untuk mengatur dan menyelenggarakan rekening pemerintah, menyimpan uang negara dalam rekening kas umum negara/daerah pada Bank Sentral, optimalisasi dana pemerintah.
2.6Untuk transparansi dan akuntabilitas piutang negara/daerah diatur kewenangan penyelesaian piutang negara/daerah.
Untuk melaksanakan pembiayaan ditetapkan pejabat yang diberi kuasa untuk mengadakan utang negara/daerah.
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan investasi dan barang milik daerah diatur tentang pelaksanaan investasi serta kewenangan mengelola dan menggunakan barang milik negara/daerah.
2.6 Pertanggungjawaban, Akuntansi dan Pelaporan Uang Negara/Daerah
Bendahara Umum Negara/Daerah, menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/ walikota/kepala kantor atau Satuan Kerja di pusat maupun di daerah bertanggung jawab atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya.
Bendahara Umum Negara/Daerah, kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah dan semua unit kerja yang berada di bawahnya, yang menguasai Uang Negara/Daerah, melakukan akuntansi atas pengelolaan Uang Negara/Daerah berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Pelaporan pengelolaan Uang Negara dalam rangka pertanggungjawaban Pemerintah Pusat dalam bentuk laporan keuangan pemerintah pusat dilakukan secara periodik dan berjenjang.
Pelaporan pengelolaan Uang Daerah dalam rangka pertanggungjawaban Pemerintah Daerah dalam bentuk laporan keuangan pemerintah daerah dilakukan secara periodik.
2.7 Pengawasan Keuangan Negara/Daerah
17
Pengendalian internal terhadap pengelolaan Uang Negara/Daerah dilakukan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/kepala kantor/satuan kerja. Pengawasan fungsional terhadap pengelolaan Uang Negara/Daerah dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional pusat/daerah dan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
18
BAB III KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa pengelolaan keuangan negara/daerah mengacu pada peraturan perundang-undangan yaitu antara lain UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintaan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Kuangan negara/daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan.
Pengelolaan keuangan negara dilaksanakan dalam wujid APBN yang setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang sedangakan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah.

Wednesday, November 2, 2016

Hukum Tanah IV

TANAH SEBAGAI JAMINAN KREDIT
A.      PENGERTIAN
1.       Pengertian Jaminan
Dalam suatu perjanjian kredit/perjanjian pengakuan utang para debitur atau kreditur mempunyai hak dan kewajiban, dan masing-masing terikat oleh isi dari perjanjian kredit tersebut. Untuk memberi kepastian bahwa debitur (penerima kredit) akan meenuhi kewajibannya   kepada kreditur (pemberi kredit) maka diperlukan jaminan. Biasanya yang dijaminkan adalah sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Realisasi pinjaman ini juga selalu berupa menguangkan benda-benda jaminan dan mengambil dari hasil penguangan benda jaminan itu dan yang menjadi hak kreditur.
2.       Pengertian Tanah Sebagai Jaminan Kredit
Salah satu hak atas tanah yang dapat dinilai dengan uang dan mempunyai nilai ekonomis serta dapat dialihkan adalah hak atas tanah. Untuk menjamin pelunasan dari debitur maka hak atas hak atas tanah itulah yang dijadikan jaminannya. Sebagai jaminan kredit, hak atas tanah mempunyai kelebihan, antara lain adalah harganya tidak pernah turun.
B.      MAKSUD DAN TUJUAN JAMINAN KREDIT
1.       Untuk menghindari terjadinya wanprestasi oleh pihak debitur (penerima kredit);
2.       Untuk menghindari risiko rugi yang akan dialami oleh pihak kreditur (pemberi kredit);
3.       Kegunaan dari barang/benda jaminan kredit :
a.       Untuk memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur/pemberi kredit (umumnya pihak bank) untuk mendapatkan pelunasan dengan benda jaminan bilamana debitur/penerima kredit melakukan wanprestasi  atau cidera janji, yaitu tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kredit.
b.       Memberi dorongan kepada debitur/penerima kredit agar :
-          Betul-betul menjalankan usaha yang dibiayai dengan kredit itu, karena bila hal tersebut diabaikan maka risikonya hak atas tanah yang dijaminkan akan hilang.
-          Betul-betul memenuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kredit.
Jaminan dapat dikatakan baik (ideal) adalah apabila :
a.       Dapat dengan mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya;
b.       Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya;
c.       Memberi kepastian kepada pemberi kredit dalam arti bahwa jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat dengan mudah diuangkan untuk melunasi utang penerima kredit.

C.      HAK JAMINAN ATAS TANAH YANG DIATUR DALAM UUPA DAN PERUBAHAN-PERUBAHANNYA AKIBAT BERLAKUNYA UU NO. 4 TAHUN 1996
Hak jaminan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional  kita adalah Hak Tanggungan, menggantikan Hypotheek dan Credietverband sebagai lembaga-lembaga hak jaminan atas tanah yang lama. Mengenai Hak Tanggungan tersebut oleh UUPA baru di tentukan obyek yang dapat dibebaninya, yaitu Hak Milik (Pasal 25), Hak Guna Bangunan (Pasal 39), dan Hak Guna Usaha (Pasal 33). Dimana ketentuan-ketentuan lebih lanjut akan diatur oleh suatu Undang-Undang (Pasal 51 UUPA).  Selama Undang-Undang mengenai Hak Tanggungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka berdasarkan Pasal 57 UUPA, yang berlaku adalah ketentuan mengenai Hypotheek (KUH Perdata) dan Creditverband (S.1908-542 sebagaimana yang telah diubah dengan S.1937-190).

Dengan diundangkan dan disahkan UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah pada tanggal 9 April 1996, maka Hak Tanggungan menjadi satu-satunya lembaga jaminan atas tanah.

Dengan berlakunya UUHT, maka ketentuan-ketentuan Hypotheek dan Creditverband yang berfungsi melengkapi ketentuan Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi dan Fidusia sebagai lembaga hak jaminan yang obyeknya hak Pakai diatas tanah negara (vide UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun) tidak diperlukan lagi karena Hak Pakai tersebut oleh UUHT telah ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan.

Berlakunya UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah menjadi lembaga jaminan tersendiri yang obyeknya adalah selain yang diatur di dalam UU No.4 Tahun 1996.

D.      DASAR HUKUM
1.       UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
2.       PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
3.       UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Pengganti UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun;
4.       UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah;
5.       PMNA/KaBPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
6.       PMNA/KaBPN No.4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu SKMHT ((Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu;
7.       PMNA/KaBPN No.3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan dan Sertfikat HT.

E.       PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagimana yang dimaksud dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberi kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

F.       CIRI-CIRI HAK TANGGUNGAN
Sebagai hak jaminan yang kuat, Hak Tanggungan mempunyai empat ciri pokok, yaitu :
1.       Memberi kedudukan yang diutamakan kepada krediturnya (droit de preference);
2.       Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan di tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite);
3.       Memenuhi azas Spesialitas dan Azas Publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan jaminan kepastian hukum pada pihak-pihak yang berkepentingan;
4.       Mudah dan pasti pelaksanaannya eksekusi.

G.      SIFAT HAK TANGGUNGAN
1.       Tidak dapat dibagi-bagi, berarti Hak Tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian obyek dari beban Hak Tanggungan, tetapi Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi.
Sifat tersebut dapat disimpangi jika Hak Tanggungan dibebankan kepada beberapa hak atas tanah dan pelunasan hutang yang dijamin dilakukan dengan angsuran sebesar nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan yang akan dibebaskan dengan Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian, Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa obyek untuk sisa utang yang belum dilunasi. Agar hal ini dapat berlaku, harus diperjanjikan dalam APHT.
2.       Hak Tanggungan merupakan ikutan  (accesoir) pada perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Keberadaan, berakhir dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya tersebut.

H.      PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN
Adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan salah satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan suatu hutang tertentu, yang memberi kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

I.        CIRI-CIRI HAK TANGGUNGAN
1.       Memberi kedudukan yang diutamakan kepada krediturnya (droit de preference)
2.       Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan  ditangan siapapun obyek itu berada (droit de suite)
3.       Memenuhi azas spesialitas dan azas publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hokum pada pihak-pihak yang berkepentingan
4.       Mudah dan pasti pelaksanaannya eksekusi

J.        SIFAT HAK TANGGUNGAN
1.       Tidak dapat dibagi-bagi, berarti Hak Tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan setiap bagian dari padanya. Pelunasan sebagian utang   yang dijamin tidak membebaskan sebagian obyek dari beban Hak Tanggungan, tetapi Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi.  
Sifat tsb dapat disimpangi jika Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah dan pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan angsuran sebesar nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan yang akan dibebaskan  dari Hak Tanggungan tsb. Dengan demikian, Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa obyek untuk sisa utang yang belum dilunasi. Agar ini dapat berlaku, harus diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
2.       Hak Tanggungan merupakan ikutan (accesoir) pada perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Keberadaan, berakhir dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya tersebut.

K.      SUBYEK HAK TANGGUNGAN
1.       Pemberi Hak Tanggungan
Adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
2.       Pemegang hak Tanggungan
Adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.

L.       OBYEK HAK TANGGUNGAN
Syarat :
1.       Memiliki nilai ekonomis;
2.       Dapat dipindahtangankan;
3.       Terdaftar dalam daftar umum;
4.       Ditunjuk oleh Undang-Undang.
a.       Yang ditunjuk oleh UUPA (Pasal 4 ayat 1 UUHT):
-          Hak Milik (Pasal 25 UUPA);
-          Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA);
-          Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA).
b.       Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat 2 UUHT)
Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
c.       Yang ditunjuk oleh UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Pasal 27 UUHT):
-          Dalam UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Pengganti UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun):
SHM Sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tangunggan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 47 ayat (5).
Yang sarusun (Sertifikat Hak Milik Sarusun) adalah tanda bukti kepemilikan atas Sarusun di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas tanah negara, serta Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas tanah hak pengelolaan.
Catatan:
Dalam UU No.16 Tahun 1985 (UU Rumah Susun Lama):
Yang dapat dijaminkan jaminan utang:
1)      Rumah Susun yang berdiri diatas tanah Hak Milik, HGB, dan HP yang diberikan oleh Negara;
2)      Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri diatas tanah Hak Milik, HGB, dan HP yang diberikan oleh Negara.

M.    PROSEDUR PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN
Ada dua tahap dalam pembebanan Hak Tanggungan, yaitu :
1.       Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Dengan dibuatnya APHT oleh PPAT  (Pasal 10 ayat 2 UUHT jo Pasal 19 PP 10/1961) yang didahului dengan perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian utang piutang (perjanjian kredit).
Dalam rangka memenuhi azas Spesialitas, menurut Pasal 11 ayat (1) UUHT, di dalam APHT wajib di cantumkan :
-          Nama dan identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;
-          Domisili pihak-pihak yang bersangkutan;
-          Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin;
-          Nilai tanggungan;
-          Uraian yang jelas tentang obyek Hak Tanggungan.
Pemberian Hak Tanggungan di hadiri oleh pemberi Hak Tanggungan, Penerima Hak Tanggungan dan dua orang saksi. Jika tanah yang dijadikan jaminan belum bersertifikat, maka yang wajib bertindak sebagai saksi adalah Kepala Desa/Lurah dan seorang anggota pemerintahan desa/kelurahan.
Jika tanah yang akan dibebani tersebut belum dibukukan (belum bersertifikat), maka pembebanan Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan (Pasal 10 ayat 3 UUHT).
Jadi pemberian Hak Tanggungan dan pembuatan APHT dapat dilakukan dalam keadaan tanah belum bersertifikat. Permohonan pendaftaran hak atas tanah diajukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran Hak Tanggungan ybs.
APHT dibuat rangkap dua, yang semuanya ditandatangi oleh pemberi dan penerima Hak Tanggungan, para saksi dan PPAT. Satu lembar Akta tsb disimpan di kantor PPAT. Lembar yang lain berikut warkah-warkah lain yang diperlukan disampaikan oleh PPAT kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran Hak Tanggungan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah ditandatanganinya APHT yang bersangkutan (Pasal 13 ayat (2) UUHT.
2.       Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan (Pasal 13 UUHT)
Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pendaftaran Tanah dengan cara:
-          Membuat Buku Tanah Hak Tanggungan;
-          Mencatat dalam Buku Tanah hak atas tanah yang menjadi obyek;
-          Menyalin catatan tersebut pada Sertifikat Hak Tanggungan.
Tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan adalah hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran. Jika hari ketujuh jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Pada Tanggal tsb lah Hak Tanggungan sudah lahir.
Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan yang terdiri dari :
-          Salinan Buku Tanah Hak Tanggungan; dan
-          Salinan APHT yang dijilid menjadi satu dalam sampul dokumen (PMNA.Ka.BPN No.3 Tahun 1996).
Untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pendalian yang mempunyai kekuatan hukum tetap, Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan membubuhkan pada sampulnya kata-kata :” DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
N.     TINGAKATAN HAK TANGGUNGAN
Sebidang tanah dapat dibebani dengan beberapa Hak Tanggungan atau dapat dipakai sebagai jaminan untuk beberapa kreditor, sehingga terjadi tingkatan hak Tanggungan yaitu pemegang Hak Tanggungan ke I, II, III dst.
Tingkatan tsb ditentukan berdasarkan tanggal pembukuannya (Pasal 13 ayat (4) UUHT). Sedangkan peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada hari yang sama ditentukan menurut nomor urut pembuatan APHT. Hal ini dimungkinkan karena pembuatan beberapa APHT dilakukan oleh PPAT yang sama.

O.     PERALIHAN HAK TANGGUNGAN
Sebagai hak kebendaan, Hak Tanggungan dapat dialihkan atau beralih kepada pihak lain (Pasal 16 UUHT). Peralihan Hak Tanggungan terjadi karena hukum, karenanya tidak perlu dibuktikan dengan PPAT.
Beralihnya Hak Tanggungan Baru berlaku pada pihak ketiga pada hari dan tanggal didaftarkannya peralihan yang bersangkutan oleh Kantor Pertanahan. Pendaftaran dilakukan dengan membubuhkan catatan pada Buku Tanah Hak Tanggungan dan Bukun Tanah hak atas tanah yang dijadikan jaminan. Catatan tersebut disalin pada sertifikat Hak Tanggungan dan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.

P.      SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT)
Pada azasnya pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak tanggungan sebagai yang berhak atas obyek Hak Tanggungan.
SKMHT harus dibuat dihadapan Notaris dan PPAT dengan syarat-syarat :
1.       Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;
2.       Tidak memuat kuasa substitusi;
3.       Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas debitor apabila debitor bukan pemilik Hak Tanggungan;
4.       Kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali dengan sebab apapun, kecuali berakhir karena telah dilaksnakan atau telah habis jangka waktunya;
5.       SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuata APHT dalam jangka waktu yang  ditetapkan batal demi hukum.
Jangka waktu :
a.       SKMHT untuk tanah yang bersertifikat wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 bulan sesudah diberikan;
b.       SKMHT untuk tanah yang belum bersertifikat, selambat-lambatnya 3 bulan;
c.       SKMHT untuk tanah yang sudah bersertifikat tetapi belum didaftarkan atas nama pemberi Hak Tanggungan sebagai pemegang haknya yang baru, selambat-lambatnya 3 bulan.
Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan Pemerintah.
Mengenai SKMHT yang sudah ada pada saat UUHT diundangkan, maka surat tersebut digunakan sebagai SKMHT  dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak tanggal 9 April 1996 (Pasal 24 ayat (3) UUHT.
Q.     HAPUSNYA HAK TANGGUNGAN
Menurut ketentuan Pasal 18 UUHT, Hak tanggungan dapat hapus karena :
1.       Hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
2.       Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh Pemegang Hak Tanggungan;
3.       Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
4.       Hapusnya hak atas tanah yang dibenani Hak Tanggungan.

R.      ROYA ATAU PENCORETAN HAK TANGGUNGAN
Hapusnya Hak Tanggungan membawa akibat administratif, yaitu menghapus beban Hak Tanggungan pada Buku Tanah dan Sertifikat hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan setempat berdasarkan surat pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan dari pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan sehubungan dengan pelunasan utangnya oleh debitor pemberi Hak Tanggungan.
Buku Tanah dan sertifikat Hak Tanggungan ditarik dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.
Permohonan pencoretan dilakukan oleh kreditor sebagai pemegang Hak Tanggungan dengan melampirkan Sertifikat Hak Tanggungan. Jika kreditor tidak bersedia, dapat diajukan permohonan pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan NegerI setempat yang wilayah hukumnya meliputi dimana Hak Tanggungan tersebut didaftarkan.
Pencoretan karena adanya roya parsial (Pasal 2 ayat (2) UUHT jo. Pasal 16 UU No.16 Tahun 1985) dilakukan dengan mencatat hapusnya Hak Tanggungan yang bersangkutan, yaitu pada Buku Tanah dan Sertifikat Hak Tanggungan ybs.





                                                                               









Tabel Ketentuan Jadwal Pengumuman Lelang


Tuesday, November 1, 2016

Pesan tentang Kepedulian


Hukum Tanah III

PENDAFTARAN TANAH
1.      Pendaftaran Tanah merupakan pelaksanaan dari Pasal 19 UUPA
Bagan 1. Kedudukan Pendaftaran Tanah dalam Hukum Tanah.

Dasar Hukum Pendaftaran Tanah:
a.       Pasal 19 UUPA
b.      PP 10/1961
c.       PP 24/1997
d.      Permen 3/1997
e.       PP 37/1998
f.        P.KBPN 10/2006
2.      Pentingnya Pendaftaran Tanah
a.       Agar setiap orang mengetahui status tanah tersebut (kepemilikan dll)
b.      Supaya setiap orang dengan mudah membuktikan kepada orang lain bahwa tanah itu miliknya. Orang tersebut dapat membuktikan bahwa tanah itu adalah miliknya dengan melakukan pendaftaran tanah secara sporadic ke Kantor Pertanahan. Hal yang didaftarkan adalah data fisik dan data yuridis, lalu memmperlihatkan sertifikat  Hak atas Tanah sebagai bukti kepemilikan (bagi orang pribadi).
c.       Sertifikat tanah dapat dijadikan jaminan utang.
d.      Untuk pihak yang memerlukan data tanah (pihak lain/calon kreditur/calon pembeli dapat dengan mudah memperoleh  keterangan yang dapat dipercayai mengenai status tanah tsb.  Pihak tsb dapat meminta PPAT untuk mengecek kebenaran data yang terdapat dalam sertifikat, misalnya apakah tanah tsb sedang dijaminkan.
e.       Wewenang Kantor Pertanahan, tercapai tertib administrasi pertanahan karena datanya berlaku up to date. Dengan kata lain agar dapat meperbarui data tentang tanah (tujuan dari Kantor Pertanahan). Setiap perubahan data mengenai tanah wajib didaftarkan, misalnya tanah tersebut diwariskan, dihibahkan, disengketakan hingga keluar keputusan pengadilan atas sengketa itu, bahkan jika pemiliknya berganti nama juga harus di daftarkan. Kewajiban pemilik tanah diatur dalam Pasal 36 ayat (2) dan Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997.
Jamak terjadi, masyarakat tidak segera mendaftarkan perubahan data mengenai tanah. Misalnya pemilik tanah meninggal dunia, dan diwariskan kepada ahli waris, pemilik tanah yang baru tidak segera mendaftarkan perubahan data. Padahal ada kewajiban untuk mendaftarkan perubahan data.
f.        Kalau PPAT, ada kewajiban selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuat berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar (Pasal 40 PP No, 24 Tahun 1997).
3.      Tujuan Pendaftaran Tanah
a.       Bagi Pemegang Hak (Pemilik Tanah):
Ø  Untuk mendapatkan (menjamin) kepastian hukum), kepastian hak dan perlindungan hukum bagi pemiliknya (pemegang hak), agar mudah membuktikan tanah itu miliknya dengan cara melakukan pendaftaran tanah secara sporadic yang memberikan alat bukti sertifikat ha katas tanah.
b.      Bagi Umum (Pihak Ketiga)
Ø  Dapat dengan mudah memperoleh keterangan /data fisik dan data yuridis  yang dapat dipercaya mengenai suatu tanah.
Ø  Untuk mengetahui tanah itu milik siapa.
Ø  Pada waktu seseorang akan membeli tanah lalu mengecek ke kantor PPAT bahwa ada bukti prosuk kantor pertanahan untuk mengetahui apakah ada sita atau jaminan atas tanah tsb.
c.       Bagi Pemerintah (BPN)
Ø  Terselenggaranya tertib administrasi bagi kantor pertanahan , selalu up to date karena bagi tanah yang telah bersertifikat harus selalu dilakukan pendaftaran setiap ada perubahan. Jadi data yang ada di lapangan sama dengan data yang ada di kantor pertanahan.
Ø  Selain itu, tujuan pendaftaran tanah bagi instansi kantor pertanahan (BPN) adalah memberikan sertifikat baru hak atas tanah.
4.      Fungsi Pendaftaran Tanah:
a.       Legal Cadastre;
Ø  Pengertian : Yaitu kegiatan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hokum dan kepastian hak di bidang pertanahan.
Ø  Tujuan :
·         Bagi Pemegang Haknya :
Mereka yang mempunyai tanah dengan mudah akan dapt membuktikan haknya atas tanah yang dikuasai dan dipunyainya. Kepada mereka masing-masing diberikan surat tanda bukti hak oleh Pemerintah.
·         Bagi Pihak yang memerlukan data :
Mereka yang memerlukan keterangan yang diamksud diatas, yaitu calon pembeli dan calon kreditur yang akan menerima tanah sebagai jaminan, akan dengan mudah memperolehnya, karena keterangan-keterangan tersebut yang di simpan di Kantor Penyelenggara Pendaftaran Tanah, terbuka umum. Dalam arti Umum boleh mengetahui, dengan melihat sendiri daftar dan dokumen yang bersangkutan atau meminta keterangan tertulis mengenai data yang diperlukan ari kantor tsb.

Ø  Kegiatan Legal Cadastre

·         Kegiatan di bidang fisik (di tiap negara pasti sama, hanya data yuridisnya saja yang berbeda)
1)      Penentuan Lokasi
ü  Melakukan pemanggilan pemilik tanah, lalu dilakukan pengukuran.
2)      Penetapan Batas
ü  Memanggil pemilik tanah sebelahnya dan menunjukkan tempat-tempatnya.
3)      Penempatan Tanda Batas
ü  Pemasangan patok-patok tanah.
4)      Pengukuran – Pemetaan
5)      Pembuatan Peta Pendaftaran
ü  Setelah digambar diberikan identitas dengan inisial NIB (Nomor Identifikasi Bidang) sebelumnya dilakukan plotting. Bila disertifikat belum ada NIB baru di plotting dan di tulis ditangan…
ü  NIB terdiri dari 13 digit yaitu :
2 nomor propinsi
2 nomor Walikota/Kabupaten
2 nomor Kecamatan
2 nomor Kelurahan
5 nomor bidang
ü  Untuk pengecekan dapat dilakukan dari Buku Tanah di BPN.
ü  NIB hanya dikeluarkan satu kali saja
ü  Untuk sertifikat yang belum ada NIB maka perlu di ploting, dicatat dulu lalu dilakukan pengecekan dan lalu tindakan jual belinya.
ü  SKT = Surat Keterangan Tanah.
6)      Pembuatan Surat Ukur
ü  Kegiatan di bidang fisik mengenai tanahnya, untuk memperoleh data fisik, bangunan dana tau tanaan-tanaman penting yang ada diatasnya.
·         Kegiatan Bidang Yuridis
ü  Bertujuan untuk memperoleh data mengenai haknya siapa pemegang haknya dan ada atau tidak adanya hak  pihak lainnya yang membebani tanah tersebut.
ü  Sumber data dalam kegiatan bidang yuridis adalah AKTA.
ü  Bentuk kegiatan pendaftaran dan hasilnya, termasuk apa yang merupakan surat tanda bukti hak, tergantung pada system pendaftaran yang digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah oleh negara yang bersangkutan.
ü  Akta-Akta itu dilihat siapa subyeknya, statusnya, ada atau tidak hak-hak yang membebani. Data itu dimasukkan ke dalam satu register, di umumkan selama jangka waktu tertentu  (tergantung system, di Indonesia untuk pendaftaran tanah  sistematis selama 30 hari, untuk pendaftaran tanah sporadic selama 60 hari). Jika tidak ada yang mengajukan kompalin, lahirlah akta, persertifikatan atas tanah, penegasan, pembuatan surat ukur, pembuatan buku tanah, pembuatan alat bukti.
ü  Surat-Surat yang diperlukan untuk Pendaftaran Tanah:
v  KTP
v  Akta Kelahiran
v  Surat Nikah
v  Penetapan PN
v  Perjanjian Kawin
ü  Urut-Urutannya :
v  Dapatnya dari jual beli atau waris;
v  Kalau jual beli harus ada AJB nya
v  Kalau dari waris harus minta surat warisnya.
ü  Menurut Perda :
v  Pajaknya harus dibayar
v  Surat Advice planning
v  Surat penguasaan fisik
v  Surat Pengukuran.
·         Penerbitan Surat Tanda Bukti Haknya, yang dapt berupa (tergantung system pendaftaran tanahnya) :
ü  Sertifikat; atau
ü  Surat Ukur.
Ø  Pelaksanaannya
1)      Pendaftaran Tanah Pertama Kali
a)      Sistematik
·         Pendaftaran yang dilakukan oleh atau atas inisiatif dari pemerintah, instansinya adalah BPN, ke bawahnya tentu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
·         Melalui Surat Kuasa (SK) Kepala BPN, ada pengumuman di Kelurahan, Kecamatan, lalu diadakan pendaftaran secara Sistematik.
·         Biaya lebih murah dibandingkan dengan sporadic karena ada biaya yang dibebankan kepada keuangan negara.
b)     Sporadik
·         Pendaftaran tanah yang dilakukan oleh individu/bersama-sama/kelompok/badan hokum dalam rangka mendapatkan jaminan kepastian hokum dan kepastian hak.
·         Inisiatip dating dari pemilik tanah.
2)      Pemeliharaan Data
a)      Data Fisik
Contoh perubahan data fisik : pemisahan, pemecahan, penggabungan, reklamasi, atau hilangnya tanah karena gempa bumi. Perubahan data fisik dicatat di surat ukur.

b)     Data Yuridis
Perubahan data yuridis di catat di buku tanah dan Salinan buku tanah.
Contoh perubahan data yuridis :
-          Perubahan status: Perubahan hak dari HGB ke Hak Milik, atau dari Hak Milik ke HGB, HGB dibebani Hak Tanggungan, Hak Milik dibebani Hak Tanggungan, Hak Milik diatasnya  diberi HGB/Hak Pakai.
-          Perubahan subyek: jual beli, tukar menukar, hibah, waris, inbreng, pembagian hak bersama.
-          Jika terjadi sengketa kemudian ada putusan pengadilan yang memenangkan salah satu pihak juga harus di catat.
·         Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur dijilid menjadi satu dan diberikan kepada pemegang hak baru. Sedangkan buku tanah disimpan di Kantor BPN.
·         Hasil sertifikat itu disimpan di dalam daftar-daftar umum dan di Kantor Pertanahan (dalam bentuk mikro file). Daftar umum ini berisi daftar Buku Tanah, daftar Surat Ukur, daftar Peta Pendaftaran Tanah, daftar Nama. Menurut Pasal 34 PP No. 24 Tahun 1997 semua isi daftar umum, kecuali daftar nama, dapat dilihat oleh umum. Namun, berdasarkan Peraturan Perkaban Nomor 6 Tahun 2013 Warkah (surat yang dilampirkan pada saat persertifikatan, missal girik, AJB, surat keterangan waris), Surat Ukur, dan Buku Tanah sekarang tidak boleh lagi dilihat oleh umum. Hal ini dilarang karena banyak oknum menyalahgunakan. Orang yang melihat Warkah akhirnya melakukan gugatan. Sering Warkah ini disengketakan, missal: dulu jual beli tanah tidak benar, istri tidak dating, pembeli tidak dating, orang lain yang tanda tangan, sudah meninggal namun ada tanda tangannya. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu dan syarat-syarat tertentu dan instansi pemerintah yang membuka. Nanti akan dikeluarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) atau salinanya, dan SKPT ini tidak dapat dijadikan bukti. SKPT ini isinya: “Sertifikat Hal Milik ini si A”.

b.      Fiscal Cadastre.
5.       

FISKAL KADASTER yakni pendaftaran tanah yang berfungsi untuk pembayaran pajak.

Basyar, Bani Adam, An-Nas, Insan dalam Al-Qur'an

Di dalam Al-Qur'an, manusia disebutkan dalam empat kata yang berbeda yakni Basyar, Bani Adam, An-Nas,dan Insan. Secara khusus keempat ka...