TANAH SEBAGAI JAMINAN KREDIT
A. PENGERTIAN
1.
Pengertian Jaminan
Dalam suatu perjanjian kredit/perjanjian pengakuan utang para debitur
atau kreditur mempunyai hak dan kewajiban, dan masing-masing terikat oleh isi
dari perjanjian kredit tersebut. Untuk memberi kepastian bahwa debitur
(penerima kredit) akan meenuhi kewajibannya
kepada kreditur (pemberi kredit) maka
diperlukan jaminan. Biasanya yang dijaminkan adalah sesuatu yang dapat dinilai
dengan uang. Realisasi pinjaman ini juga selalu berupa menguangkan benda-benda
jaminan dan mengambil dari hasil penguangan benda jaminan itu dan yang menjadi
hak kreditur.
2.
Pengertian Tanah Sebagai
Jaminan Kredit
Salah satu hak atas tanah yang dapat dinilai dengan uang dan mempunyai
nilai ekonomis serta dapat dialihkan adalah hak atas tanah. Untuk menjamin
pelunasan dari debitur maka hak atas hak atas tanah itulah yang dijadikan
jaminannya. Sebagai jaminan kredit, hak atas tanah mempunyai kelebihan, antara
lain adalah harganya tidak pernah turun.
B. MAKSUD DAN TUJUAN JAMINAN
KREDIT
1.
Untuk menghindari
terjadinya wanprestasi oleh pihak debitur (penerima kredit);
2.
Untuk menghindari risiko
rugi yang akan dialami oleh pihak kreditur (pemberi kredit);
3.
Kegunaan dari barang/benda
jaminan kredit :
a.
Untuk memberikan hak dan
kekuasaan kepada kreditur/pemberi kredit (umumnya pihak bank) untuk mendapatkan
pelunasan dengan benda jaminan bilamana debitur/penerima kredit melakukan
wanprestasi atau cidera janji, yaitu
tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang ditetapkan dalam perjanjian
kredit.
b.
Memberi dorongan kepada
debitur/penerima kredit agar :
-
Betul-betul menjalankan
usaha yang dibiayai dengan kredit itu, karena bila hal tersebut diabaikan maka
risikonya hak atas tanah yang dijaminkan akan hilang.
-
Betul-betul memenuhi
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kredit.
Jaminan dapat dikatakan baik (ideal) adalah apabila :
a.
Dapat dengan mudah membantu
perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya;
b.
Tidak melemahkan potensi (kekuatan)
si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya;
c.
Memberi kepastian kepada
pemberi kredit dalam arti bahwa jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi,
yaitu bila perlu dapat dengan mudah diuangkan untuk melunasi utang penerima
kredit.
C. HAK JAMINAN ATAS TANAH
YANG DIATUR DALAM UUPA DAN PERUBAHAN-PERUBAHANNYA AKIBAT BERLAKUNYA UU NO. 4
TAHUN 1996
Hak jaminan atas tanah dalam Hukum Tanah
Nasional kita adalah Hak Tanggungan,
menggantikan Hypotheek dan Credietverband sebagai lembaga-lembaga hak jaminan
atas tanah yang lama. Mengenai Hak Tanggungan tersebut oleh UUPA baru di
tentukan obyek yang dapat dibebaninya, yaitu Hak Milik (Pasal 25), Hak Guna
Bangunan (Pasal 39), dan Hak Guna Usaha (Pasal 33). Dimana ketentuan-ketentuan
lebih lanjut akan diatur oleh suatu Undang-Undang (Pasal 51 UUPA). Selama Undang-Undang mengenai Hak Tanggungan
tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka berdasarkan Pasal 57 UUPA, yang
berlaku adalah ketentuan mengenai Hypotheek (KUH Perdata) dan Creditverband
(S.1908-542 sebagaimana yang telah diubah dengan S.1937-190).
Dengan diundangkan dan disahkan UU No.4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
Dengan Tanah pada tanggal 9 April 1996, maka Hak Tanggungan menjadi satu-satunya
lembaga jaminan atas tanah.
Dengan berlakunya UUHT, maka
ketentuan-ketentuan Hypotheek dan Creditverband yang berfungsi melengkapi
ketentuan Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi dan Fidusia sebagai
lembaga hak jaminan yang obyeknya hak Pakai diatas tanah negara (vide UU No. 16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun) tidak diperlukan lagi karena Hak Pakai
tersebut oleh UUHT telah ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan.
Berlakunya UU No.42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia telah menjadi lembaga jaminan tersendiri yang obyeknya adalah
selain yang diatur di dalam UU No.4 Tahun 1996.
D. DASAR HUKUM
1.
UU No.5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
2.
PP No.24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah;
3.
UU No.20 Tahun 2011 tentang
Rumah Susun, Pengganti UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun;
4.
UU No.4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah;
5.
PMNA/KaBPN No.3 Tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
6. PMNA/KaBPN No.4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu SKMHT ((Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan)
untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu;
7.
PMNA/KaBPN No.3 Tahun 1996
tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan,
Buku Tanah Hak Tanggungan dan Sertfikat HT.
E. PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagimana yang dimaksud dalam UU No.5 Tahun
1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
utang tertentu, yang memberi kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lain.
F. CIRI-CIRI HAK TANGGUNGAN
Sebagai hak jaminan yang kuat, Hak
Tanggungan mempunyai empat ciri pokok, yaitu :
1.
Memberi kedudukan yang
diutamakan kepada krediturnya (droit de preference);
2.
Selalu mengikuti obyek yang
dijaminkan di tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite);
3.
Memenuhi azas Spesialitas dan
Azas Publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan jaminan
kepastian hukum pada pihak-pihak yang berkepentingan;
4.
Mudah dan pasti
pelaksanaannya eksekusi.
G. SIFAT HAK TANGGUNGAN
1.
Tidak dapat dibagi-bagi,
berarti Hak Tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan setiap bagian
daripadanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian
obyek dari beban Hak Tanggungan, tetapi Hak Tanggungan tetap membebani seluruh
obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi.
Sifat tersebut dapat disimpangi jika Hak Tanggungan dibebankan kepada
beberapa hak atas tanah dan pelunasan hutang yang dijamin dilakukan dengan
angsuran sebesar nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari
obyek Hak Tanggungan yang akan dibebaskan dengan Hak Tanggungan tersebut.
Dengan demikian, Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa obyek untuk sisa
utang yang belum dilunasi. Agar hal ini dapat berlaku, harus diperjanjikan
dalam APHT.
2.
Hak Tanggungan merupakan
ikutan (accesoir) pada perjanjian pokok,
yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Keberadaan,
berakhir dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang
yang dijamin pelunasannya tersebut.
H. PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN
Adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No.5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan salah satu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelunasan suatu hutang tertentu, yang memberi kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
I.
CIRI-CIRI HAK TANGGUNGAN
1.
Memberi kedudukan yang diutamakan kepada
krediturnya (droit de preference)
2.
Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan ditangan siapapun obyek itu berada (droit de
suite)
3.
Memenuhi azas spesialitas dan azas publisitas,
sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hokum pada
pihak-pihak yang berkepentingan
4.
Mudah dan pasti pelaksanaannya eksekusi
J.
SIFAT HAK TANGGUNGAN
1.
Tidak dapat
dibagi-bagi, berarti Hak Tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan setiap
bagian dari padanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian obyek
dari beban Hak Tanggungan,
tetapi Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi.
Sifat tsb
dapat disimpangi jika Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah
dan pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan angsuran sebesar nilai
masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan
yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan
tsb. Dengan demikian, Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa obyek untuk
sisa utang yang belum dilunasi. Agar ini dapat berlaku, harus diperjanjikan
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
2.
Hak Tanggungan merupakan
ikutan (accesoir) pada perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan
hubungan hukum utang piutang. Keberadaan, berakhir dan hapusnya Hak Tanggungan
dengan sendirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya tersebut.
K. SUBYEK HAK TANGGUNGAN
1.
Pemberi Hak Tanggungan
Adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
2.
Pemegang hak Tanggungan
Adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang
berpiutang.
L. OBYEK HAK TANGGUNGAN
Syarat :
1.
Memiliki nilai ekonomis;
2.
Dapat dipindahtangankan;
3.
Terdaftar dalam daftar
umum;
4.
Ditunjuk oleh
Undang-Undang.
a.
Yang ditunjuk oleh UUPA
(Pasal 4 ayat 1 UUHT):
-
Hak Milik (Pasal 25 UUPA);
-
Hak Guna Usaha (Pasal 33
UUPA);
-
Hak Guna Bangunan (Pasal 39
UUPA).
b.
Yang ditunjuk oleh UUHT
(Pasal 4 ayat 2 UUHT)
Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di
daftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
c.
Yang ditunjuk oleh UU No.20
Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Pasal 27 UUHT):
-
Dalam UU No.20 Tahun 2011
tentang Rumah Susun (Pengganti UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun):
SHM Sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tangunggan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 47 ayat (5).
Yang sarusun (Sertifikat Hak Milik Sarusun) adalah tanda bukti
kepemilikan atas Sarusun di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai di atas tanah negara, serta Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai di atas
tanah hak pengelolaan.
Catatan:
Dalam UU No.16 Tahun 1985 (UU Rumah Susun Lama):
Yang dapat dijaminkan jaminan utang:
1)
Rumah Susun yang berdiri
diatas tanah Hak Milik, HGB, dan HP yang diberikan oleh Negara;
2)
Hak Milik atas Satuan Rumah
Susun yang bangunannya berdiri diatas tanah Hak Milik, HGB, dan HP yang
diberikan oleh Negara.
M. PROSEDUR PEMBEBANAN HAK
TANGGUNGAN
Ada dua tahap dalam pembebanan Hak
Tanggungan, yaitu :
1.
Tahap Pemberian Hak
Tanggungan
Dengan dibuatnya APHT oleh PPAT
(Pasal 10 ayat 2 UUHT jo Pasal 19 PP 10/1961) yang didahului dengan
perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian utang piutang (perjanjian kredit).
Dalam rangka memenuhi azas Spesialitas, menurut Pasal 11 ayat (1) UUHT,
di dalam APHT wajib di cantumkan :
-
Nama dan identitas pemberi
dan pemegang Hak Tanggungan;
-
Domisili pihak-pihak yang
bersangkutan;
-
Penunjukan secara jelas
utang atau utang-utang yang dijamin;
-
Nilai tanggungan;
-
Uraian yang jelas tentang
obyek Hak Tanggungan.
Pemberian Hak Tanggungan di hadiri
oleh pemberi Hak Tanggungan, Penerima Hak Tanggungan dan dua orang saksi. Jika
tanah yang dijadikan jaminan belum bersertifikat, maka yang wajib bertindak
sebagai saksi adalah Kepala Desa/Lurah dan seorang anggota pemerintahan
desa/kelurahan.
Jika tanah yang akan dibebani
tersebut belum dibukukan (belum bersertifikat), maka pembebanan Hak Tanggungan
dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang
bersangkutan (Pasal 10 ayat 3 UUHT).
Jadi pemberian Hak Tanggungan dan
pembuatan APHT dapat dilakukan dalam keadaan tanah belum bersertifikat.
Permohonan pendaftaran hak atas tanah diajukan bersamaan dengan permohonan
pendaftaran Hak Tanggungan ybs.
APHT dibuat rangkap dua, yang
semuanya ditandatangi oleh pemberi dan penerima Hak Tanggungan, para saksi dan
PPAT. Satu lembar Akta tsb disimpan di kantor PPAT. Lembar yang lain berikut
warkah-warkah lain yang diperlukan disampaikan oleh PPAT kepada Kantor
Pertanahan untuk keperluan pendaftaran Hak Tanggungan selambat-lambatnya 7 hari
kerja setelah ditandatanganinya APHT yang bersangkutan (Pasal 13 ayat (2) UUHT.
2.
Tahap Pendaftaran Hak
Tanggungan (Pasal 13 UUHT)
Pendaftaran
Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pendaftaran Tanah dengan cara:
-
Membuat Buku Tanah Hak
Tanggungan;
-
Mencatat dalam Buku Tanah
hak atas tanah yang menjadi obyek;
-
Menyalin catatan tersebut
pada Sertifikat Hak Tanggungan.
Tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan
adalah hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftaran. Jika hari ketujuh jatuh pada hari libur, buku
tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Pada Tanggal tsb
lah Hak Tanggungan sudah lahir.
Sebagai tanda bukti adanya Hak
Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan yang
terdiri dari :
-
Salinan Buku Tanah Hak
Tanggungan; dan
-
Salinan APHT yang dijilid
menjadi satu dalam sampul dokumen (PMNA.Ka.BPN No.3 Tahun 1996).
Untuk memberikan kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan Pendalian yang mempunyai kekuatan hukum
tetap, Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan membubuhkan pada
sampulnya kata-kata :” DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
N. TINGAKATAN HAK TANGGUNGAN
Sebidang tanah dapat dibebani dengan
beberapa Hak Tanggungan atau dapat dipakai sebagai jaminan untuk beberapa
kreditor, sehingga terjadi tingkatan hak Tanggungan yaitu pemegang Hak
Tanggungan ke I, II, III dst.
Tingkatan tsb ditentukan berdasarkan
tanggal pembukuannya (Pasal 13 ayat (4) UUHT). Sedangkan peringkat Hak
Tanggungan yang didaftar pada hari yang sama ditentukan menurut nomor urut
pembuatan APHT. Hal ini dimungkinkan karena pembuatan beberapa APHT dilakukan
oleh PPAT yang sama.
O. PERALIHAN HAK TANGGUNGAN
Sebagai hak kebendaan, Hak Tanggungan dapat
dialihkan atau beralih kepada pihak lain (Pasal 16 UUHT). Peralihan Hak
Tanggungan terjadi karena hukum, karenanya tidak perlu dibuktikan dengan PPAT.
Beralihnya Hak Tanggungan Baru berlaku pada
pihak ketiga pada hari dan tanggal didaftarkannya peralihan yang bersangkutan
oleh Kantor Pertanahan. Pendaftaran dilakukan dengan membubuhkan catatan pada
Buku Tanah Hak Tanggungan dan Bukun Tanah hak atas tanah yang dijadikan
jaminan. Catatan tersebut disalin pada sertifikat Hak Tanggungan dan sertifikat
hak atas tanah yang bersangkutan.
P. SURAT KUASA MEMBEBANKAN
HAK TANGGUNGAN (SKMHT)
Pada azasnya pembebanan Hak Tanggungan
wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak tanggungan sebagai yang berhak atas
obyek Hak Tanggungan.
SKMHT harus dibuat dihadapan Notaris dan
PPAT dengan syarat-syarat :
1.
Tidak memuat kuasa untuk
melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;
2.
Tidak memuat kuasa
substitusi;
3.
Mencantumkan secara jelas
obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas debitor apabila
debitor bukan pemilik Hak Tanggungan;
4.
Kuasa tersebut tidak dapat
ditarik kembali dengan sebab apapun, kecuali berakhir karena telah dilaksnakan
atau telah habis jangka waktunya;
5.
SKMHT yang tidak diikuti
dengan pembuata APHT dalam jangka waktu yang
ditetapkan batal demi hukum.
Jangka waktu :
a.
SKMHT untuk tanah yang
bersertifikat wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 bulan
sesudah diberikan;
b.
SKMHT untuk tanah yang
belum bersertifikat, selambat-lambatnya 3 bulan;
c.
SKMHT untuk tanah yang
sudah bersertifikat tetapi belum didaftarkan atas nama pemberi Hak Tanggungan
sebagai pemegang haknya yang baru, selambat-lambatnya 3 bulan.
Pembatasan waktu tersebut tidak
berlaku untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan Pemerintah.
Mengenai SKMHT yang sudah ada
pada saat UUHT diundangkan, maka surat tersebut digunakan sebagai SKMHT dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak
tanggal 9 April 1996 (Pasal 24 ayat (3) UUHT.
Q. HAPUSNYA HAK TANGGUNGAN
Menurut ketentuan Pasal 18 UUHT, Hak
tanggungan dapat hapus karena :
1.
Hapusnya hutang yang
dijamin dengan Hak Tanggungan;
2.
Dilepaskannya Hak
Tanggungan oleh Pemegang Hak Tanggungan;
3.
Pembersihan Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
4.
Hapusnya hak atas tanah
yang dibenani Hak Tanggungan.
R. ROYA ATAU PENCORETAN HAK
TANGGUNGAN
Hapusnya Hak Tanggungan membawa akibat
administratif, yaitu menghapus beban Hak Tanggungan pada Buku Tanah dan
Sertifikat hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan oleh Kantor
Pertanahan setempat berdasarkan surat pernyataan tertulis mengenai
dilepaskannya Hak Tanggungan dari pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak
Tanggungan sehubungan dengan pelunasan utangnya oleh debitor pemberi Hak
Tanggungan.
Buku Tanah dan sertifikat Hak Tanggungan
ditarik dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.
Permohonan pencoretan dilakukan oleh kreditor
sebagai pemegang Hak Tanggungan dengan melampirkan Sertifikat Hak Tanggungan.
Jika kreditor tidak bersedia, dapat diajukan permohonan pencoretan tersebut
kepada Ketua Pengadilan NegerI setempat yang wilayah hukumnya meliputi dimana
Hak Tanggungan tersebut didaftarkan.
Pencoretan karena adanya roya parsial
(Pasal 2 ayat (2) UUHT jo. Pasal 16 UU No.16 Tahun 1985) dilakukan dengan
mencatat hapusnya Hak Tanggungan yang bersangkutan, yaitu pada Buku Tanah dan
Sertifikat Hak Tanggungan ybs.
No comments:
Post a Comment