PENGERTIAN HTN DI INDONESIA
Istilah “Agraria” pengertian yang bermacam-macam; dalam
bahasa latin, Ager berarti tanah atau
sebidang tanah. Agrarius berarti
perladangan, persawahan, pertanian (Prent
K. Adisubrata, J. Poerwadaminta, W.J.S.,
1960, Kamus Latin Indonesia, Yayasan Kanisius, Semarang).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994, Edisi Kedua
Cetakan Ketiga, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta,
Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan
tanah.
Agraria atau dalam bahasa inggris “Agrarian”
selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian (Black’s Law
ictionary, 1983, West Publishing Co, St. Paul, Minn).
Sebutan Agrarian Laws
bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan
hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka
lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.
Di Indonesia, sebutan Agraria di lingkungan Administrasi
Pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non
pertanian. Tetapi Agrarisch Recht
atau Hukum Agraria di lingkungan Administrasi pemerintahan dibatasi pada
perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi
penguasa dalam melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan. Maka perangkat
hukum tersebut merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara.
Sebutan Agrarische
Wet, Agrarisch Besluit, Agrarische Inspectie pada Departemen Van Binnenlandsch Bestuur, Agrarische Regelingan dalam “Himpunan Engelbrecht”. Bagian Agraria
pada Kementerian Dalam Negeri, Menteri Agraria, Kementerian Agraria, Departemen
Agraria, Menteri Pertanian dan Agraria, Departemen Pertanian dan Agraria,
Direktur Jenderal Agraria, Direktorat Jenderal Agraria pada Departemen Dalam
Negeri, semuanya menunjukkan pengertian demikian.
Pada tahun 1988 di bentuk Badan Pertanahan Nasional dengan
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, yang sebagai Lembaga Pemerintah Non
Departemen bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan mengembangkan
administrasi pertanahan.
Pemakaian sebutan pertanahan sebagai nama badan tersebut
tidak mengubah ataupun mengurangi lingkup tugas dan kewenangan yang sebelumnya
ada pada Departemen dan Direktorat Jenderal Agraria. Sebaliknya justru
memberikan kejelasan dan penegasan mengenai lingkup pengertian Agraria yang
dipakai di lingkungan Administrasi Pemerintahan. Adapun “administrasi
pertanahan” meliputi baik tanah-tanah di daratan maupun yang berada di bawah
air, baik air daratan maupun air laut.
Adanya jabatan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional dalam Kabinet Pembangunan VI, juga tidak mengubah lingkup
pengertian agraria.
Sebutan jabatan tersebut tampaknya dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa tugas kewenangan Menteri Negara Agraria adalah lebih luas
dari dan tidak terbatas pada lingkup tugasnya
sebagai Kepala BPN yang disebut dalam Keppres No. 26 Tahun 1988 diatas
(Keppres no.44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Organisasi dan Tata
Kerja Menteri Negara).
Dalam Keppres No.44 Tahun 1993 ditentukan bahwa Menteri
Negara Agraria bertugas pokok mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
keagrariaan dan menyelenggaraakan antara lain fungsi: c. Mengkoordinasi
kegiatan seluruh instansi pemerintah yang berhubungan dengan keagrariaan dalam
rangka pelaksanaan program pemerintah secara menyeluruh.
Dengan adanya fungsi koordinasi tersebut kewenangan Menteri
Negara Agraria lebih luas dari fungsi Menteri Agraria dulu yang memimpin
Departemen Agraria, yang dalam tata susunan Kabinet Pembangunan VI ada pada
Kepala BPN.
Pengertian Hukum Agraria adalah seperangkat hukum yang
mengatur hak penguasaan atas sumber daya alam (natural resources) yang meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, bahkan dalam batas-batas yang ditentukan juga termasuk
ruang angkasa.
Di dalam kaidah hukum positip, yaitu UU No.5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), disebutkan bahwa unsur-unsur keagrariaan
meliputi :
a.
Bumi (Pasal 1 ayat 4 UUPA)
yang meliputi:
-
Permukaan bumi (tanah);
-
Tubuh bumi yang terdapat di
bawah tanah dan di bawah air.
b.
Air (Pasal 1 ayat 5 dan
Pasal 47 UUPA) termasuk didalamnya perairan pedalaman (inland waters) seperti
sungai, danau, rawa dan di laut wilayah/laut teritorial Indonesia.
c.
Kekayaan Alam yang
terkandung di dalam bumi dan air (Pasal 1 ayat 2 UUPA) seperti bahan-bahan
galian/barang-barang tambang, ikan, mutiara dan hasil laut lainnya.
d.
Unsur-unsur dalam ruang
angkasa (Pasal 48 UUPA).
Dengan melihat unsur-unsur agraria tersebut,
maka dapat kita ambil dua pengertian hukum agraria, yaitu Hukum Agraria dalam
arti luas dan Hukum Agraria dalam arti sempit (Hukum Tanah).
Hukum Agraria dalam arti luas adalah
seperangkat hukum yang mengatur hak penguasaan atas sumber-sumber alam (natural
resources), yang meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya termasuk ruang angkasa.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka ruang
lingkup Hukum Agraria meliputi :
-
Hukum tanah (Hukum Agraria
dalam arti sempit), diatur dalam UUPA;
-
Hukum Air, diatur dalam UU
No. 11 Tahun 1974, sebagimana diubah dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air;
-
Hukum Pertambangan, diatur
dalam UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang
telah diubah dengan uu No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara; dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi , pengganti UU
No. 44?Prp/1960;
-
Hukum Perikanan, diatur
dalam UU No. 31 Tahun 2004 Sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009;
-
Hukum Kehutanan, diatur dalam
UU No. 41 Tahun 1999 (jo. UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang.
-
Hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas unsur-unsur dalam ruang angkasa. Hukum ruang angkasa dipelajari
karena unsur-unsur dalam ruang angkasa diperlukan untuk kehidupan manusia.
Perlu diketahui bahwa hukum ruang angkasa disini tidak sama dengan “space law”.
Hukum Agraria dalam
arti sempit (Hukum Tanah) adalah seperangkat hukum yang mengatur penguasaan
atas permukaan tanah.
Sesuai dengan sistem perkuliahan di Fakultas Hukum, maka
untuk mata kuliah Hukum Agraria dikhususkan mempelajari Hukum Agraria dalam
arti sempit, yaitu Hukum Tanah. Untuk selanjutnya istilah untuk Hukum Agraria
dalam tulisan ini dibaca sebagai Hukum Tanah.
Sebagai titik tolak pembahasan Hukum Agraria dalam buku ini
adalah UUPA yang diundangkan dalam LN NO.104 tahun 1960 merupakan sumber utama
Hukum Agraria terutama Hukum Agraria dalam arti sempit (Hukum Tanah), ini dapat
dilihat dari konsideran dan sebagian besar isi (pasal-pasal) serta
penjelasannya yang mengatur Hak Penguasaan atas Tanah.
Disamping adanya perbedaan pengertian antara Hukum Agraria dalam
arti luas dan dalam arti sempit, apabila kita menyimak pendapat Prof. E.
Utrecht dalam buku-buku yang ditulisnya, beliau menyamakan arti Hukum Agraria
dengan Hukum Tanah dan menempatkan sebagai bagian dari Hukum Administrasi Negara sebagaimana
kelaziman penggunaannya di Indonesia dahulu.
Jadi karena dianggap sebagai bagian dari Hukum Administrasi
Negara, maka Hukum Agraria pada masa itu diartikan sebagai keseluruhan
peraturan yang memberikan landasan hukum kepada penguasa untuk melaksanakan
politik pertanahannya sesuai dengan “kebijaksanaan” pemerintah Kolonial Hindia
Belanda di bidang pertanahan yang bersumber pada Agrarische Wet 1870.
Apabila kita hendak
melihat dari latar belakang sejarah kepentingan pemerintah kolonial, tentu saja
sangat logis kalau Hukum Tanah Administrasi ini mempunyai peranan penting sebab
dengan peraturan tersebut penguasa memperoleh legalitas dan wewenang-wenang
khusus untuk mengambil tindakan-tindakan yang dikehendakinya mengenai
pengaturan masalah pertanahan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Hukum Tanah itu
sendiri terbagi ndalam dua bagian, yaitu:
Hukum Tanah Administrasi; dan
Hukum Tanah Perdata, yakni peraturan-peraturan Hukum Tanah
yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang subyeknya manusia (perorangan)
ataupun badan hukum.
Di Indonesia, Hukum Tanah Administrasi merupakan bagian yang
sangat penting dari Hukum Tanah karena walaupun secara teoritis mempunyai
perbedaan, tetapi secara praktis unsur-unsur Hukum Tanah Administrasi itu dapat
kita jumpai dalam seluruh peraturan Hukum Tanah.
Walaupun tidak dinyatakan secara tegas, tetapi dari
konsiderans serta Pasal-pasal dan penjelasan dapat disimpulkan bahwa pengertian
Hukum Agraria dalam UUPA mengandung arti yang luas dan mencakup obyek yang
meliputi bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya (Pasal 1 dan 2 UUPA), yaitu yang lazim disebut sumber-sumber alam..
Jadi Hukum Agraria yang dibicarakan disini adalah segi-segi
hukumnya, yakni hak-hak penguasaan atas unsur-unsur sumber daya alam atau
Agraria dalam arti luas.
Hak penguasaan tersebut ada pada subyek hu7kum manusia
pribadi dan/ataubadan hukum.
Oleh karena itu, focus pembicaraan Hukum Agraria disini
adalah hubungan hukum antara subyek hukum dengan obyeknya, yaitu unsur-unsur
sumber alam.
Dalam pengertian yang luas itu Hukum Agraria merupakan suatu
kelompok n sebagai bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber alam Indonesia; sehingga
dengan sendirinya termasuk pula didalamnya arti yang sempit pula, yakni agraria
dalam arti tanah atau Hukum Tanah, sebagai bagian hukum positip di Indonesia
yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.
Yang dimaksud dengan hak-hak penguasaan atas tanah ini
adalah hubungan hukum antara subyek (manusia/badan hukum) dengan obyek (tanah)
yang dikuasainya; dan dari hubungan hukum ini timbul kewenangan bagi subyek
hukum untuk berbuat sesuatu terhadap tanah sebagai obyek hukum tersebut.
No comments:
Post a Comment