“Hubungan antara Ekonomi Makro, Penerimaan Pajak, dan Kasus Panama
Papers”
I.
Latar
belakang masalah
Pendapatan negara dari pajak adalah penerimaan
negara yang persentase terbesar diantara penerimaan negara lainnya terutama
dari pajak penghasilan orang pribadi ataupun badan. Penerimaan itu nantinya
akan digunakan untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi negara Indonesia sehingga
kesejahteraan yang diharapkan bisa merata di antara masyarakat dapat terwujud.
Namun, pada dasarnya tidak ada seorang pun yang rela membayar pajak mengingat
tidak adanya imbalan langsung yang didapat oleh wajib pajak, oleh karena
kurangnya kesadaran akan pentingnya pajak yang menyebabkan penghindaran pajak. banyak
subjek pajak terutama pejabat-pejabat dan pengusaha yang sangat kaya untuk
menghindari pemotongan pajak penghasilannya. Berbagai cara yang dilakukan oleh
subjek pajak untuk menghindari atau mengurangi kewajibannya membayar pajak
salah satunya pencucian uang ataupun yang baru-baru ini yaitu menyimpan harta
kekayaannya di luar negeri. Pada kasus panama papers terdapat 2.961 nama dari
Indonesia yang memiliki rekening di luar negeri yang dilakukan melalui bank offshore.
Misalnya, ketika ada orang kaya dari Indonesia ingin membuka rekening bank di
negara lain seperti Swiss, bank Swiss itu bisa disebut bank offshore.
Kebanyakan bank offshore berada di wilayah
yurisdiksi tax
heaven atau negara yang menerapkan pajak rendah. Bank offshore
menjadi pilihan favorit bagi orang superkaya untuk mengungsikan harta mereka
agar tidak terkena pajak. Hal ini lantaran harta tersebut ditempatkan di
negara-negara dengan pajak rendah. Namun, dana tersebut tidak serta-merta
ditimbun atau ngendon di negara tax
heaven.
Dana milik nasabah superkaya juga diputar ke
dalam berbagai instrumen investasi di negara-negara lain yang pajaknya tinggi.
Beberapa minggu lalu kasus panama papers yang melibatkan banyak elit politik
maupun pengusaha Indonesia sehingga ribuan triliun yang mereka simpan di negara
panama (salah satu negara tax heaven) tidak dikenai pajak yang
semestinya, yang seharusnya apabila menyimpan uangnya di Indonesia akan dikenai
pajak yang lebih tinggi. Hal ini selain merugikan negara juga menyebabkan
ketidakadilan sosial di antara masyarakat Indonesia karena banyak rakyat yang
pendapatannya dipungut pajak tidak sebesar para pejabat dan pengusaha kaya raya
yang mengalihkan hartanya ke luar negeri untuk menghindari pajak. Padahal pada
kenyataannya menurut asas tempat tinggal atau domisili, selama subjek pajak
berada di Indonesia maka objek pajaknya yang ada di luar negeri juga tetap akan
dipungut. Jadi walaupun subjek pajak Indonesia yang sangat kaya menyimpan
hartanya di luar negeri maka harta tersebut tetap harus dipotong pajak. Kerugian
dari berkurangnya penerimaan pajak inilah yang menjadi permasalahan serius terhadap
perekonomian Indonesia akibat dari objek pajak yang selama ini tersembunyi dan
tidak dipungut oleh fiskus sehingga perlu adanya tindakan tegas berupa
kebijakan pemeritah untuk penerimaan pajak yang maksimal. Dengan demikian,
perlulah suatu kebijakan yang tegas yang diterapkan untuk mengatur kepatuhan
pembayaran pajak agar pendapatan negara untuk melaksanakan APBN dapat tercapai
secara optimal melalui kerjasama antara pemerintah dengan masyrakat melalui
kesadaran sebagai warga negara untuk mewujudkan cita-cita Negara Indonesia.
II.
Analisis
Pembahasan
Indikator
suatu negara untuk dapat dikatakan sebuah negara maju tidak hanya dilihat dari
pendapatan perkapita suatu negara ataupun produk domestik bruto negara
tersebut. Namun, hal yang lebih signifkan yaitu pemerataan pendapatan di antara
warga negara tersebut hal ini juga sesuai dengan cita-cita dasar negara
Indonesia yaitu pada sila ke V yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”. Sesuai dengan data ekonomi nasional, menyajikan bahwa
pendapatan perkapita Indonesia setiap tahun cenderung mengalami kenaikan secara
konsisten namun kenaikan tersebut tidak diikuti oleh berkurangnya koefisien
gini atau pemerataan pendapatan antara masyarakat yang dapat diartikan bahwa
semakin tinggi angka koefisien gini atau mendekati satu maka ketimpangan sosial
diantara masyrakat juga lebih besar. Data ini menjelaskan bahwa pertambahan
pendapatan hanya berputar diantara orang-orang kaya saja namun tidak diikuti
oleh pemerataan pendapatan kepada orang yang sebelumnya memang miskin. Hal ini
juga mengartikan bahwa dengan tidak meratanya pendapatan maka angka
pengangguran masih besar. Masalah inilah yang menjadi tugas pemerintah dalam
mencapai tujuan negara Indonesia yaitu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
bukan semata-mata untuk orang-orang tertentu.
Data
diatas adalah data yang didapatkan dari situs badan pusat statistik yang
menyajikan pertumbuhan ekonomi Indonesia, dapat kita lihat bahwa angkanya dari
tahun ke tahun selalu meningkat. Namun, pada kenyataannya masih banyak penduduk
Indonesia yang masih di bawah garis kemisinan, bahan-bahan pokok masih menjadi
barang mewah bagi orang-orang yang menjadi korban ketimpangan ini atau dapat
dikatakan masih kurangnya kebutuhan pokok yang dapat mereka penuhi. Oleh sebab
itu, pemerintah melalui kebijakannya untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan
usaha meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak karena sektor seperti
migas yang dahulu adalah sebagai penerimaan utama negara, sekarang tidak lagi
berkontribusi sebesar pajak karena migas merupakan sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui lagi. Jadi pajak sejak beberapa tahun yang lalu hingga sekarang
adalah kekuatan terbesar untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Namun, seperti kita
ketahui bahwa jenis pajak yang
dibebankan pada barang konsumsi yaitu pajak dari sisi konsumsi, akan menyebabkan
turunnya angka produk domestik bruto akibat turunnya jumlah konsumsi atau dapat
dikatakan produk domestik bruto berbanding lurus dengan konsumsi. Permintaan
dan penawaran agrergat akan mengalami penurunan akibat beban pajak yang
memungkinkan kelesuan ekonomi. Di sisi lain, hal ini yaitu pembebanan yang
lebih pada pajak konsumsi adalah suatu reformasi sistem pajak untuk memberikan
insentif kepada konsumen agar lebih besar menabung, berinvestasi, dan
mengakumulasi modal. Akan tetapi, ini dapat menjadi masalah bagi orang-orang
yang berpenghasilan rendah, solusinya yaitu pajak pada konsumsi akan lebih
signifikan berpengaruh apabila diterapkan dengan pemotongan pajak berkali-kali
lipat hanya pada barang-barang mewah karena seperti yang disebutkan di atas
perbedaan distribusi pendapatan antara si kaya dan si miskin terlalu jauh
jaraknya sehingga diperlukan kebijakan ini untuk mendistribusikan pendapatan
orang-orang kaya dari pajak konsumsi kepada orang-orang miskin. Terkait dengan
inti permasalahan tentang kasus panama papers, walaupun berdasarkan data 2015
bahwa pajak penghasilan (migas dan nonmigas) yang merupakan penyumbang
persentase pajak tertinggi dibandingkan dari jenis pajak lain, kenyataannya
penerimaan pajak seharusnya dapat lebih tinggi apabila tidak ada pungutan yang
tersembunyi salah satunya akibat panama papers. Namun, penghindaran pajak
penghasilan sudah merupakan keniscayaan dengan berbagai cara dari wajab pajak
untuk memperoleh keuntungan atau laba sebesar-besarnya kalau perlu tanpa dikurangi
pajak, oleh sebab itu pemerintah sebaiknya melakukan upaya kekurangan dari sisi
pajak penghasilan ini misalnya dengan meningkatkan pajak konsumsi hanya untuk
barang-barang dan jasa-jasa kelas ekonomi menengah ke atas terlebih juga
barang-barang yang mewah sehingga kebijkan ini tidak akan membebankan
masyarakat menengah ke bawah.
Adanya
kebijakan tersebut, bukan berarti pemerintah membiarkan para mafia pajak dari
Indonesia untuk menyimpan kekayaannya di negara tax haven tanpa dipungut pajak.
Namun sulitnya atau keterbasan yang mungkin dimiliki oleh fiskus sehingga tidak
terdeteksinya pajak di luar negeri disebabkan perlindungan atau merahasiakan
harta-harta kekayaan yang disimpan oleh pengemplang pajak di negara-negara tax
heaven oleh bank-bank luar negeri yang tidak memberikan informasi mengenai
subjek-subjek pajak Indonesia. Kenyataannya, Indonesia sudah memiliki
daftar ribuan nama-nama yang mengalihkan
kekayaannya di luar negeri atau negara-negara tax heaven tetapi
Indonesia masih mengalami kesulitan dalam pengambilalihan pajak
kekayaan-kekayaan yang ada di luar negeri tersebut. Seperti halnya kebijakan
tax amnesty sebagai solusi untuk mengalihkan kekayaan wajib pajak di luar
negeri yang diberlakukan pemerintah pada tahun 2004 hasilnya gagal untuk
mencapai tujuan seperti yang direncanakan. Oleh sebab itu, diperlukan
alternatif tambahan untuk menutupi kekurangan penerimaan pajak.
Kejahatan
yang dilakukan oleh mafia pajak ini dapat ditutupi oleh pajak konsumsi
barang-barang dan jasa-jasa kelas ekonomi menengah ke atas atapun yang sangat
mewah seperti yang telah dijelaskan di atas. Sedangkan untuk kasus panama
papers yang orang-orang terlibatnya sudah diketahui maka sudah seharusnya
diberikan kebijakan yang tegas agar dapat meningkatkan penerimaan pajak di
tahun berikutnya. Badan Legislasi DPR RI menyatakan setuju dengan substansi RUU
Tax Amnesty yang disusun pemerintah, setelah bertemu secara informal dengan
wakil pemerintah (Harian KONTAN, 22/1). Namun, kebijakan tax amnesty ini
bersifat kontroversi dan memiliki kekuatan yang lemah untuk penegakkan hukum
dalam penerimaan pajak negara. Kontroversi tersebut adalah Pertama, tarifnya sangat murah: 1% 2% 3%
dari selisih harta yang tidak dilaporkan bagi wajib pajak yang melakukan
repatriasi dananya dari luar negeri ke Indonesia. Dana 3%,4%, 6% bagi wajib
pajak yang tidak merepatriasi dana.
Tarif
yang cukup rendah ini menyebabkan penerimaan pajak dari kebijakan ini tidak
maksimal. Hanya Rp 60 triliun-Rp 80 triliun, sangat rendah dibandingkan dengan
aset objek tax
amnesty yang diperkirakan mencapai Rp 2.000 triliun. Bandingkan
tarif normal PPh pribadi (5%-30% tergantung penghasilan) dan badan (25%).
Kedua, kebijakan tax amnesty ini dijalankan sebelum
pemerintah melaksanakan pertukaran data transaksi dan data harga wajib pajak
dengan negara-negara G20 pada 2017. Kerjasama ini dapat digunakan untuk menagih
kekurangan pajak. Tapi ketika tax amnesty diberikan sekarang,
kerjasama transfer data itu tidak berdampak apa-apa. Seperti senjata lengkap
dengan peluru, tapi tidak bisa digunakan. Terkesan kebijakan tax
amnesty hanya untuk menyelamatkan para pengemplang pajak, ketimbang
menggali penerimaan negara.
Namun pada dasarnya
pemerintah lah yang memegang kekuasaan untuk menentukan kebijakan ini,
pemerintah menurut saya lebih memahami apa yang seharusnya dilakukan untuk
kepentinan negara. Selama kebijakan tax amnesty yang akan diberlakukan tahun
ini (2016) memang sudah dipersiapkan seefektif mungkin terutama oleh Direktorat
Jendral Pajak maka sudah sepatutnya masyarakat mendukung kebijakan ini,
diharapkan dapat mencapai tujuan yaitu memperluas basis pajak untuk meningkatkan
penerimaan pajak di tahun 2016 dan juga memanfaatkan dana sebesar ribuan
triliun milik orang-orang Indonesia di luar negeri untuk berkontribusi pada
pembiayaan pembangunan, khususnya infrastruktur yang memang membutuhkan modal
besar.
Tax amnesty ini harus dimanfaatkan segera
mungkin oleh subjek-subjek pajak yang sudah mengemplang pajak karena pada tahun
2018, semua otoritas perbankan di dunia diharuskan membuka data antar bank
yaitu Automatic Exchange of Information (AEOI) akan mulai diimpelementasikan
yang merupakan hasil kerja sama G-20 dan The Organisation for Economic
Co-operation and Development (OECD). Apabila pengemplang pajak tetap menghindar
dari kebijakan ini maka pada tahun 2018, pengempalang pajak tersebut akan
dikenakan sanksi berupa pidana, bunga dan kenaikan.
III.
Penutup
A.
Simpulan
Kasus panama
papers yang telah mengurangi penerimaan negara dari sisi pajak harus diatasi dengan
kebijakan-kebijakan yang tegas oleh pemerintah. Kebijakan pengampunan pajak
telah menjadi salah satu “penentu arah” ekonomi Indonesia tahun ini dan
selanjutnya. Namun kebijakan tersebut perlu dilengkapi lagi untuk menutupi
kemungkinan penghindaran pajak yang tidak dapat dideteksi. Penghindaran yang
biasanya dilakukan oleh pejabat dan pengusaha kaya raya dengan mengalihkan
kekayaannya di banyak negara tax heaven pada kenyataannya masih banyak,
dan mungkin dapat ditutupi dengan kebijakan pada jenis pajak lainnya seperti
pajak konsumsi barang dan jasa mewah seperti pada pembahasan di atas. Hal ini
disebabkan biasanya barang-barang mewah yang dinaikkan harganya akan tetap
bersifat inelastis di sisi orang-orang yang sangat kaya di Indonesia. Terbukti
dengan ketimpangan yang sangat tinggi di antara masyarakat Indonesia. Dengan
kekuatan kebijakan pemerintah diharapkan terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia
yaitu pada sila ke V sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi disertai
pemerataan kekayaan.
B.
Rekomendasi
Pemerintah
dalam kasus ini adalah fiskus yang memungut pajak kepada orang-orang yang
memang sudah seharusnya diambil sebagian hartanya menurut peraturan untuk
mecapai perekonomian negara yang berkeadilan dan sejahtera sekaligus untuk
melaksanakan amanat negara sehingga tercapainya pemerataan kekayaan di antara
masyarakat ataupun pembangunan sarana dan prasarana di seluruh wilayah
Indonesia secara berkelanjutan. Walaupun demikian hal ini tidak didukung penuh
oleh banyak wajib pajak yang menghindarkan kekayaan mereka dari pajak dengan
mengalihkannya ke luar negeri seperti panama sebagai negara tax heaven, lalu
pemerintah akan mengatasi permasalan ini dengan tax amnesty. Program ini memang
penting dan efektif untuk menambah penerimaan pajak namun pemerintah seharusnya
jangan menerapkan kebijakan ini berulang kali yang akan menyebabkan disinsentif
bagi wajib pajak yang patuh. Untuk bagi wajib pajak yang telah mengemplang
pajak sangat diharuskan memanfaatkan program tax amnesty pada tahun ini (2016)
apalagi sanksinya yang sangat ringan dibandingkan apabila harus terkena sanksi
pada tahun 2018 akibat tidak melaporkan pajak sebelum Automatic Exchange of Information (AEoI).
Daftar Pustaka
Wirawan B. Ilyas, Richard Burton.
2014. Hukum Pajak: Teori, Analisis, dan Perkembangannya. Jakarta:
Salemba Empat.
No comments:
Post a Comment