PERKEMBANGAN HTN
DI INDONESIA
Kuliah ke 2
GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN HUKUM TANAH DI INDONESIA
Hukum tanah di Indonesia mengalami perombakan pada saat
diberlakukan UUPA pada tanggal 24 September 1960, sehingga dapat dikatakan
bahwa pada tanggal tersebut muncul pembaharuan Hukum Tanah yang berlaku di
Indonesia.
A.
HUKUM TANAH LAMA (SEBELUM
UUPA, 24 SEPTEMBER 1960).
Sebelum berlakunya UUPA, pengaturan
mengenai Hukum Tanah di Indonesia tidak hanya terdapat dalam satu macam hukum
saja. Peraturan dalam arti kaedah-kaedah tersebut dapat dijumpai di dalam
berbagai macam bidang hukum, yaitu :
1.
HUKUM TANAH ADAT
Hukum Tanah Adat merupakan hukum tidak tertulis dan sejak semula berlaku
dikalangan masyarakat asli Indonesia sebelum datangnya bangsa-bangsa Portugis,
Belanda, Inggris dan sebagainya.
2.
HUKUM TANAH BARAT
Dalam perkembangan selanjutnya bersamaan dengan datangnya Belanda di
Indonesia, mereka membawa perangkat hukum Belanda tentang tanah yang mula-mula
merupakan hukum Belanda kuno yang didasarkan pada hukum kebiasaan yang tidak
tertulis, misalnya Bataviasche Grondhuur,
dan hukum tertulis seperti Overschrijvings
Ordonnantie, Stbl. 1934-27.
Kemudian pada tahun 1848 mulailah diberlakukan suatu ketentuan hukum
barat yang tertulis yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) yang sampai sekarang masih
kita kenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
BW secara formal memang dinyatakan mulai berlaku sejak tahun 1848,
sebagian berlaku kemudian.
Disamping memuat ketentuan-ketentuan perdata pada umumnya, BW juga memuat
perangkat hukum tanah barat yang dapat dijumpai dalam :
-
Buku II, dengan judul
Hak-hak atas Tanah dan Hak Jaminan atas Tanah;
-
Buku III, dengan judul Jual
Beli;
-
Buku IV, dengan judul
Perihal Daluarsa.
Perlu dijelaskan disini, bahwa
motivasi yang mendorong timbulnya Hukum Tanah Barat tersebut antara lain adalah
banyaknya orang Belanda yang memerlukan tanah, misalnya untuk :
-
Perkebunan atau
bangunan/rumah peristirahatan (bungalow) di luar kota dengan hak Erpacht (Pasal 720 BW);
-
Rumah tinggal atau tempat
usaha di dalam kota dengan hak Eigendom dan hak Opstal.
Jadi kita kenal dua macam
perangkat Hukum Tanah, yaitu Hukum Tanah Adat dan Hukum Tanah Barat.
Oleh karenanya, Hukum Tanah yang
berlaku pada waktu itu dikatakan bersifat dualistis.
Selain
kedua macam Hukum Tanah tersebut diatas yang merupakan ketentuan-ketentuan
pokok, masih ada pula Hukum Tanah lain sebagi ketentuan pelengkap, yaitu apa
yang kita kenal dengan :
a.
Hukum Tanah Antar Golongan;
b.
Hukum Tanah Administrasi;
c.
Hukum Tanah Swapraja.
Ketiga perangkat hukum tersebut
lahir akibat adanya dualisme di bidang hukum tanah.
Dengan demikian Hukum Tanah Lama
(sebelum UUPA berlaku) meliputi :
Hukum
Tanah Adat
Ketentuan
Pokok Dualistis
Hukum
Tanah Barat
PLURALISTIK
Hukum
Tanah Antar Golongan
Ketentuan
Pelengkap Hukum Tanah Administrasi
Hukum
Tanah Swapraja
3.
HUKUM TANAH ANTAR GOLONGAN
Hukum Tanah Antar Golongan ini kaedah-kaedahnya tidak dalam peraturan
perundang-undangan yang tertulis, tetapi berupa putusan-putusan pengadilan yang
menjadi yurisprudensi dan pendapat para ahli atau sarjana hukum.
Namun demikian, ada juga peraturan-peraturan tertulis yang diciptakan
untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan Hukum Tanah Antar Golongan.
Kaedah-kaedah dari Hukum Antar Golongan ini diciptakan dengan maksud
untuk menyelesaikan hubungan antar golongan yang menyangkut masalah tanah sesuai dengan pembagian golongan
penduduk Indonesia yang pada waktu itu tunduk pada hukum yang berbeda, atas
dasar ketentuan Pasal 131 jo. 163 Indische
Staats Reglement (IS), dimana bagi :
-
Golongan Eropa dan Timur
Asing, berlaku Hukum Barat;
-
Golongan Bumiputera
(Indonesia Asli), berlaku Hukum Adat.
Timbulnya Hukum Tanah Antar
Golongan karena:
a.
Sifat dualisme dalam Hukum
Tanah yang berlaku semasa pemerintihaan Hindia Belanda, dimana adanya
hubungan-hubungan serta peristiwa-peristiwa
hukum yang terjadi antara orang-orang Indonesia Asli dengan orang-orang
bukan Indonesia Asli.
b.
Tanah-tanah Eropa tidak
hanya dipunyai oleh orang-orang bukan Indonesia (yang tunduk pada Hukum Barat),
demikian pula tanah-tanah Indonesia tidak hanya dimiliki oleh orang-orang
Indonesia Asli (yang tunduk pada Hukum Adat).
c.
Namun demikian perlu
dicatat bahwa tanah-tanah Hak Barat tidak akan berubah status hukumnya menjadi
tanah hak golongan lain, sekalipun dipunyai oleh subyek-subyek yang tunduk pada
hukum yang berlainan (STATUS HUKUM TIDAK MEMPENGARUHI STATUS TANAH YANG
DIPUNYAINYA).
4.
HUKUM TANAH ADMINISTRASI
Hukum Tanah Administrasi adalah keseluruhan peraturan yang memberikan
landasan hukum bagi penguasa atau negara untuk melaksanakan politik pertanahan
dan memberikan wewenang khusus kepada penguasa untuk melakukan
tindakan-tindakan di bidang pertanahan.
Hukum Tanah Administrasi yang berlaku sebelum UUPA tentunya adalah Hukum
Tanah Administrasi ciptaan pemerintah kolonial Belanda, yang terkenal dengan
nama Agrarische Wet 1870.
Sebelum berlaku Cultuur Stelsel (Sistem Tanam Paksa) yang juga merupakan
politik pertanahan yang dilancarkan Pemerintah Hindia Belanda, dimana rakyat
Indonesia dipaksa untuk menanam tanaman yang laku di pasaran Eropa.
Perbedaannya, Agrarische Wet
terbuka bagi pengusaha asing/swasta, sedangkan Cultuur Stelsel merupakan monopoli pemerintah.
5.
HUKUM TANAH SWAPRAJA
Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang
khusus berlaku di daerah Swapraja, seperti Keultanan Yogyakarta, Surakarta, dan
Deli.
Hukum Tanah Swapraja ini pada dasarnya adalah Hukum Tanah Adat yang
diciptakan oleh Pemerintah Swapraja dan sebagian diciptakan oleh Pemerintah
Hindia Belanda.
Misalnya Stbl. 1915-474 yang intinya memberi wewenang pada penguasa
Swapraja untuk memberikan tanahnya dengan hak=hak barat.
Dalam konsideran Stbl. 1915-474 ditegaskan bahwa diatas tanah=tanah yang
terletak dalam wilayah hukum Swapraja dapat didirikan hak-hak kebendaan yang
diatur dalam BW, Seperti Hak Eigendom, Hak Erfpacht, Hak Opstal, dan
sebagainya.
Dimungkinkan pula untuk memberi
tanah-tanah Swapraja tersebut dengan hak-hak barat , terbatas pada orang-orang
yang tunduk pada BW saja.
Setelah UUPA berlaku, hukum tanah Swapraja dihapus.
Dengan adanya lima macam Hukum Tanah seperti yang diuraikan diatas sebagi
Hukum Tanah lama (sebelum berlakunya UUPA) maka dapat dikatakan bahwa Hukum Tanah di Indonesia pada masa itu
bersifat Pluralistis.
Dengan demikian kita mengenal :
a.
Hukum Tanah Barat yang
bersumber pada Hukum Perdata Barat dan peraturan-peraturan lainnya;
b.
Hukum Tanah Adat yang
bersumber pada Hukum Adat;
c.
Hukum Tanah Antar Golongan
yang bersumber pada HATAH yaitu Yurisprudensi dan pendapat para sarjana;
d.
Hukum Tanah Administrasi
yang bersumber pada Hukum Administrasi Negara;
e.
Hukum Tanah Swapraja yang
bersumber pada Hukum Tata Negara atau Hukum Administrasi Negara.
Namun seperti yang dikemukakan
sebelumnya, bahwa yang menjadi ketentuan pokok adalah Hukum Tanah Barat dan Hukum Tanah Adat,
lainnya sebagai pelengkap saja sebagimana dapat deilihat dalam skema berikut:
HUKUM
TANAH YANG DUALISTIS
Perangkat Perangkat
Hukum Tanah
Barat Hukum Tanah Adat
Kaedah-Kaedahnya Kaedah-kaedahmya
Tertulis Tidak Tertulis Tertulis Tidak Tertulis
Buku II BW Hukum Kebiasaan Diciptakan Sbg Hukum yg berlaku
dikalangan Orang
Indonesia
Asli
Buku III BW
Buku IV BW
Agr. Wet 1870
Hukum
Tanah Administarsi
Agr. Besluit 1870
B.
MACAM HAK ATAS TANAH DI
INDONESIA DAN DAERAH PENGATURANNYA DALAM SISTEM HUKUM TANAH SEBELUM UUPA
Seperti telah diuraikan diatas, Hukum Tanah
yang berlaku sebelum UUPA adalah Hukum Tanah Lama yang bersifat Pluralisme,
karena terdiri dari Hukum Tanah Adat, Hukum Tanah Barat, Hukum Tanah Antar
Golongan, Hukum Tanah Administrasi, dan Hukum Tanah Swapraja.
Namun yang merupakan ketentuan pokok dari
macam-macam Hukum Tanah tersebut hanya dua yaitu Hukum Tanah Adat dan Hukum
Tanah Barat. Selebihnya hanya merupakan pelengkap saja.
Oleh karena ada dua macam Hukum Tanah yang
berkedudukan sebagai ketentuan pokok di Indonesia, yaitu :
1.
Tanah hak Indonesia. Yang
diatur dalam Hukum Tanah Adat dalam arti luas dimana kaedah-kaedahnya sebagian
besar tidak tertulis, yang diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan
Pemerintah Swapraja yang semula berlaku bagi orang-orang Indonesia.
Pada dasarnya tanah hak Indonesia meliputi semua tanah yang tidak diatur
oleh Hukum Tanah Barat.
a.
Kaedah tidak tertulis, yang
berlaku di Indonesia bagi penduduk asli sejak semula;
b.
Kaedah tertulis, yang
diciptakan oleh :
-
Pemerintah Swapraja,
misalnya peraturan mengenai tanah di daerah Kesultanan Yogyakarta, Surakarta,
atau Sumatera Timur.
-
Pemerintah Hindia Belanda,
misalnya :
(1)
Hak Agrarisch Eigendom, Stbl. 1872-117 (Koninkijk Besluit) dan Stbl. 1873-38;
(2)
Grand Vervraamdings Verbod (larangan pengasingan tanah), Stbl.1875-179.
Mengenai peraturan tanah Swapraja di daerah Sumatera Timur, kita jumpai apa
yang dinamakan “hak grant sultan”,
yakni suatu hak yang diberikan kepada kawula Swapraja yang mirip dengan hak
milik adat.
Penggunaan istilah “grant”
yang berasal dari bahasa Inggris ini diperkirakan karena latar belakang
historis dimana terdapat hubungan kekeluargaan uang erat antara Sultan Sumatera
Timur dengan Sultan di Malaysia yang dulunya merupakan tanah jajahan Inggris.
Peraturan tertulis ciptaan pemerintah Swapraja tersebut
diatas kita namakan Hukum Tanah Swapraja, dan Hukum Tanah Swapraja ini
merupakan bagian dari Hukum Tanah Adat yang tertulis.
Ternyata Hukum Tanah
Swapraja (sebagai bagian Hukum Tanah Adat yang tertulis) tidak hanya diciptakan
oleh Pemerintah Swapraja saja, tetapi ada juga
yang dimuat oleh Pemerintah Hindia Belanda yang mengatur agar Pemerintah
Swapraja memberikan tanahnya dengan Hak
Barat, berdasarkan peraturan berbentuk Koninklijk
Besluit yang diundangkan dalam Stbl.
1915-474.
Peraturan ini dalam konsiderannya menegaskan, bahwa
tanah-tanah yang terletak di daerah Swapraja dapat dibebami hak-hak
kebendaan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Sebagai contoh, di
daerah Swapraja Yogyakarta sampai
sekarang masih dijumpai tanah swapraja (seperti
di daerah Malioboro dan sekiatrnya) yang diberikan dengan hak barat berdasarkan
Stbl. 1915-474 ciptaan Pemerintah Belanda.
Walaupun pada prinsipnya tanah-tanah hak Indonesia tunduk
pada Hukum Adat, akan tetapi tidak semua tanah Indonesia dibebani dengan
hak-hak asli yang berasal atau bersumber dari Hukum Adatn Indonesia.
Buktinya selain apa yang kita kenal sebagai hak ulayat, hak
pakai. Hak milik dalam masyarakat tradisional, ada pula hak grant sultan dan
grant controlleur ciptaan pemerintah Swapraja, atau hak Agrarisch Eigendom ciptaan Pemerintah Hindia Belanda, yaitu hak
yang diperoleh atas dasar Pasal 51 ayat
(7) IS dan lebih lanjut diatur dalam Koninlijk Besluit yang diundangkan dalam
Stbl. 1872-117 serta Ordonantie yang
diundangkan dalam Stbl. 1873-38.
Dengan perkataan lain, tanah-tanah Indonesia tunduk pada
Hukum Agraria Adat, sepanjang tidak ada ketentuan yang khusus untuk hak-hak
tertentu, misalnya hak Agrarisch Eigendom berlaku ketentuan yang dimuat dalam
Stbl.1872-117 tersebut diatas.