Thursday, September 29, 2016

Hukum Tanah II



PERKEMBANGAN HTN DI INDONESIA
Kuliah ke 2
GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN HUKUM TANAH DI INDONESIA
Hukum tanah di Indonesia mengalami perombakan pada saat diberlakukan UUPA pada tanggal 24 September 1960, sehingga dapat dikatakan bahwa pada tanggal tersebut muncul pembaharuan Hukum Tanah yang berlaku di Indonesia.
A.      HUKUM TANAH LAMA (SEBELUM UUPA, 24 SEPTEMBER 1960).
Sebelum berlakunya UUPA, pengaturan mengenai Hukum Tanah di Indonesia tidak hanya terdapat dalam satu macam hukum saja. Peraturan dalam arti kaedah-kaedah tersebut dapat dijumpai di dalam berbagai macam bidang hukum, yaitu :
1.       HUKUM TANAH ADAT
Hukum Tanah Adat merupakan hukum tidak tertulis dan sejak semula berlaku dikalangan masyarakat asli Indonesia sebelum datangnya bangsa-bangsa Portugis, Belanda, Inggris dan sebagainya.

2.       HUKUM TANAH BARAT
Dalam perkembangan selanjutnya bersamaan dengan datangnya Belanda di Indonesia, mereka membawa perangkat hukum Belanda tentang tanah yang mula-mula merupakan hukum Belanda kuno yang didasarkan pada hukum kebiasaan yang tidak tertulis, misalnya Bataviasche Grondhuur, dan hukum tertulis seperti Overschrijvings Ordonnantie, Stbl. 1934-27.

Kemudian pada tahun 1848 mulailah diberlakukan suatu ketentuan hukum barat yang tertulis yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) yang sampai sekarang masih kita kenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
BW secara formal memang dinyatakan mulai berlaku sejak tahun 1848, sebagian berlaku kemudian.
Disamping memuat ketentuan-ketentuan perdata pada umumnya, BW juga memuat perangkat hukum tanah barat yang dapat dijumpai dalam :
-          Buku II, dengan judul Hak-hak atas Tanah dan Hak Jaminan atas Tanah;
-          Buku III, dengan judul Jual Beli;
-          Buku IV, dengan judul Perihal Daluarsa.
Perlu dijelaskan disini, bahwa motivasi yang mendorong timbulnya Hukum Tanah Barat tersebut antara lain adalah banyaknya orang Belanda yang memerlukan tanah, misalnya untuk :
-          Perkebunan atau bangunan/rumah peristirahatan (bungalow) di luar kota dengan hak Erpacht (Pasal 720 BW);
-          Rumah tinggal atau tempat usaha di dalam kota dengan hak Eigendom dan hak Opstal.
Jadi kita kenal dua macam perangkat Hukum Tanah, yaitu Hukum Tanah Adat dan Hukum Tanah Barat.
Oleh karenanya, Hukum Tanah yang berlaku pada waktu itu dikatakan bersifat dualistis.
  Selain kedua macam Hukum Tanah tersebut diatas yang merupakan ketentuan-ketentuan pokok, masih ada pula Hukum Tanah lain sebagi ketentuan pelengkap, yaitu apa yang kita kenal dengan :
a.       Hukum Tanah Antar Golongan;
b.       Hukum Tanah Administrasi;
c.       Hukum Tanah Swapraja.
Ketiga perangkat hukum tersebut lahir akibat adanya dualisme di bidang hukum tanah.
Dengan demikian Hukum Tanah Lama (sebelum UUPA berlaku) meliputi :
                                                                                        Hukum Tanah Adat
                                        Ketentuan Pokok                                                             Dualistis
                                                                                        Hukum Tanah Barat
PLURALISTIK
                                                                                        Hukum Tanah Antar Golongan
                                        Ketentuan Pelengkap     Hukum Tanah Administrasi
                                                                                        Hukum Tanah Swapraja


3.       HUKUM TANAH ANTAR GOLONGAN
Hukum Tanah Antar Golongan ini kaedah-kaedahnya tidak dalam peraturan perundang-undangan yang tertulis, tetapi berupa putusan-putusan pengadilan yang menjadi yurisprudensi dan pendapat para ahli atau sarjana hukum.
Namun demikian, ada juga peraturan-peraturan tertulis yang diciptakan untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan Hukum Tanah Antar Golongan.
Kaedah-kaedah dari Hukum Antar Golongan ini diciptakan dengan maksud untuk menyelesaikan hubungan antar golongan yang menyangkut masalah  tanah sesuai dengan pembagian golongan penduduk Indonesia yang pada waktu itu tunduk pada hukum yang berbeda, atas dasar ketentuan Pasal 131 jo. 163 Indische Staats Reglement (IS), dimana bagi :
-          Golongan Eropa dan Timur Asing, berlaku Hukum Barat;
-          Golongan Bumiputera (Indonesia Asli), berlaku Hukum Adat.
Timbulnya Hukum Tanah Antar Golongan karena:
a.       Sifat dualisme dalam Hukum Tanah yang berlaku semasa pemerintihaan Hindia Belanda, dimana adanya hubungan-hubungan serta peristiwa-peristiwa  hukum yang terjadi antara orang-orang Indonesia Asli dengan orang-orang bukan Indonesia Asli.
b.       Tanah-tanah Eropa tidak hanya dipunyai oleh orang-orang bukan Indonesia (yang tunduk pada Hukum Barat), demikian pula tanah-tanah Indonesia tidak hanya dimiliki oleh orang-orang Indonesia Asli (yang tunduk pada Hukum Adat).
c.       Namun demikian perlu dicatat bahwa tanah-tanah Hak Barat tidak akan berubah status hukumnya menjadi tanah hak golongan lain, sekalipun dipunyai oleh subyek-subyek yang tunduk pada hukum yang berlainan (STATUS HUKUM TIDAK MEMPENGARUHI STATUS TANAH YANG DIPUNYAINYA).

4.       HUKUM TANAH ADMINISTRASI
Hukum Tanah Administrasi adalah keseluruhan peraturan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa atau negara untuk melaksanakan politik pertanahan dan memberikan wewenang khusus kepada penguasa untuk melakukan tindakan-tindakan di bidang pertanahan.
Hukum Tanah Administrasi yang berlaku sebelum UUPA tentunya adalah Hukum Tanah Administrasi ciptaan pemerintah kolonial Belanda, yang terkenal dengan nama Agrarische Wet 1870.
Sebelum berlaku Cultuur Stelsel (Sistem Tanam Paksa) yang juga merupakan politik pertanahan yang dilancarkan Pemerintah Hindia Belanda, dimana rakyat Indonesia dipaksa untuk menanam tanaman yang laku di pasaran Eropa.
Perbedaannya, Agrarische Wet terbuka bagi pengusaha asing/swasta, sedangkan Cultuur Stelsel merupakan monopoli pemerintah.
5.       HUKUM TANAH SWAPRAJA
Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di daerah Swapraja, seperti Keultanan Yogyakarta, Surakarta, dan Deli.
Hukum Tanah Swapraja ini pada dasarnya adalah Hukum Tanah Adat yang diciptakan oleh Pemerintah Swapraja dan sebagian diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Misalnya Stbl. 1915-474 yang intinya memberi wewenang pada penguasa Swapraja untuk memberikan tanahnya dengan hak=hak barat.
Dalam konsideran Stbl. 1915-474 ditegaskan bahwa diatas tanah=tanah yang terletak dalam wilayah hukum Swapraja dapat didirikan hak-hak kebendaan yang diatur dalam BW, Seperti Hak Eigendom, Hak Erfpacht, Hak Opstal, dan sebagainya.
Dimungkinkan pula  untuk memberi tanah-tanah Swapraja tersebut dengan hak-hak barat , terbatas pada orang-orang yang tunduk pada BW saja.
Setelah UUPA berlaku, hukum tanah Swapraja dihapus.

Dengan adanya lima macam Hukum Tanah seperti yang diuraikan diatas sebagi Hukum Tanah lama (sebelum berlakunya UUPA) maka dapat dikatakan bahwa  Hukum Tanah di Indonesia pada masa itu bersifat Pluralistis.

Dengan demikian kita mengenal :
a.       Hukum Tanah Barat yang bersumber pada Hukum Perdata Barat dan peraturan-peraturan lainnya;
b.       Hukum Tanah Adat yang bersumber pada Hukum Adat;
c.       Hukum Tanah Antar Golongan yang bersumber pada HATAH yaitu Yurisprudensi dan pendapat para sarjana;
d.       Hukum Tanah Administrasi yang bersumber pada Hukum Administrasi Negara;
e.       Hukum Tanah Swapraja yang bersumber pada Hukum Tata Negara atau Hukum Administrasi Negara.
Namun seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa yang menjadi ketentuan pokok adalah  Hukum Tanah Barat dan Hukum Tanah Adat, lainnya sebagai pelengkap saja sebagimana dapat deilihat dalam skema berikut:

HUKUM TANAH YANG DUALISTIS

Perangkat                                                                                                                  Perangkat
Hukum Tanah Barat                                                                                                   Hukum Tanah Adat
 Kaedah-Kaedahnya                                                                                                Kaedah-kaedahmya
Tertulis    Tidak Tertulis                                                                         Tertulis       Tidak Tertulis
Buku II BW  Hukum Kebiasaan                                                            Diciptakan  Sbg Hukum yg                                                                                                                    berlaku dikalangan Orang
                                                                                                                        Indonesia Asli   
Buku III BW
Buku IV BW

Agr. Wet 1870
                                        Hukum Tanah Administarsi
Agr. Besluit 1870

B.      MACAM HAK ATAS TANAH DI INDONESIA DAN DAERAH PENGATURANNYA DALAM SISTEM HUKUM TANAH SEBELUM UUPA

Seperti telah diuraikan diatas, Hukum Tanah yang berlaku sebelum UUPA adalah Hukum Tanah Lama yang bersifat Pluralisme, karena terdiri dari Hukum Tanah Adat, Hukum Tanah Barat, Hukum Tanah Antar Golongan, Hukum Tanah Administrasi, dan Hukum Tanah Swapraja.
Namun yang merupakan ketentuan pokok dari macam-macam Hukum Tanah tersebut hanya dua yaitu Hukum Tanah Adat dan Hukum Tanah Barat. Selebihnya hanya merupakan pelengkap saja.
Oleh karena ada dua macam Hukum Tanah yang berkedudukan sebagai ketentuan pokok di Indonesia, yaitu :
1.       Tanah hak Indonesia. Yang diatur dalam Hukum Tanah Adat dalam arti luas dimana kaedah-kaedahnya sebagian besar tidak tertulis, yang diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Swapraja yang semula berlaku bagi orang-orang Indonesia.
Pada dasarnya tanah hak Indonesia meliputi semua tanah yang tidak diatur oleh Hukum Tanah Barat.
a.       Kaedah tidak tertulis, yang berlaku di Indonesia bagi penduduk asli sejak semula;
b.       Kaedah tertulis, yang diciptakan oleh :
-          Pemerintah Swapraja, misalnya peraturan mengenai tanah di daerah Kesultanan Yogyakarta, Surakarta, atau Sumatera Timur.
-          Pemerintah Hindia Belanda, misalnya :
(1)    Hak Agrarisch Eigendom, Stbl. 1872-117 (Koninkijk Besluit) dan Stbl. 1873-38;
(2)    Grand Vervraamdings Verbod (larangan pengasingan tanah), Stbl.1875-179.
Mengenai peraturan tanah Swapraja  di daerah Sumatera Timur, kita jumpai apa yang dinamakan “hak grant sultan”, yakni suatu hak yang diberikan kepada kawula Swapraja yang mirip dengan hak milik adat.
Penggunaan istilah “grant” yang berasal dari bahasa Inggris ini diperkirakan karena latar belakang historis dimana terdapat hubungan kekeluargaan uang erat antara Sultan Sumatera Timur dengan Sultan di Malaysia yang dulunya merupakan tanah jajahan Inggris.
Peraturan tertulis ciptaan pemerintah Swapraja tersebut diatas kita namakan Hukum Tanah Swapraja, dan Hukum Tanah Swapraja ini merupakan bagian dari Hukum Tanah Adat yang tertulis.
  Ternyata Hukum Tanah Swapraja (sebagai bagian Hukum Tanah Adat yang tertulis) tidak hanya diciptakan oleh Pemerintah Swapraja saja, tetapi ada juga  yang dimuat oleh Pemerintah Hindia Belanda yang mengatur agar Pemerintah Swapraja memberikan tanahnya  dengan Hak Barat, berdasarkan peraturan berbentuk Koninklijk Besluit  yang diundangkan dalam Stbl. 1915-474.
Peraturan ini dalam konsiderannya menegaskan, bahwa tanah-tanah yang terletak di daerah Swapraja dapat dibebami hak-hak kebendaan  yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
 Sebagai contoh, di daerah Swapraja Yogyakarta  sampai sekarang masih dijumpai  tanah swapraja (seperti di daerah Malioboro dan sekiatrnya) yang diberikan dengan hak barat berdasarkan Stbl. 1915-474 ciptaan Pemerintah Belanda.
Walaupun pada prinsipnya tanah-tanah hak Indonesia tunduk pada Hukum Adat, akan tetapi tidak semua tanah Indonesia dibebani dengan hak-hak asli yang berasal atau bersumber dari Hukum Adatn Indonesia.
Buktinya selain apa yang kita kenal sebagai hak ulayat, hak pakai. Hak milik dalam masyarakat tradisional, ada pula hak grant sultan dan grant controlleur ciptaan pemerintah Swapraja, atau hak Agrarisch Eigendom ciptaan Pemerintah Hindia Belanda, yaitu hak yang diperoleh  atas dasar Pasal 51 ayat (7) IS dan lebih lanjut diatur  dalam Koninlijk Besluit yang diundangkan dalam Stbl. 1872-117 serta Ordonantie yang diundangkan dalam  Stbl. 1873-38.
Dengan perkataan lain, tanah-tanah Indonesia tunduk pada Hukum Agraria Adat, sepanjang tidak ada ketentuan yang khusus untuk hak-hak tertentu, misalnya hak Agrarisch Eigendom  berlaku ketentuan yang dimuat dalam Stbl.1872-117 tersebut diatas.





Hukum Tanah I



PENGERTIAN HTN DI INDONESIA
Istilah “Agraria” pengertian yang bermacam-macam; dalam bahasa latin, Ager berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian (Prent K. Adisubrata, J. Poerwadaminta, W.J.S., 1960, Kamus Latin Indonesia, Yayasan Kanisius, Semarang).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994, Edisi Kedua Cetakan Ketiga, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.
Agraria atau dalam bahasa inggris  “Agrarian” selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian (Black’s Law ictionary, 1983, West Publishing Co, St. Paul, Minn).
Sebutan Agrarian Laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.
Di Indonesia, sebutan Agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian. Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di lingkungan Administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara.
Sebutan Agrarische Wet, Agrarisch Besluit, Agrarische Inspectie pada Departemen Van Binnenlandsch Bestuur, Agrarische Regelingan dalam “Himpunan Engelbrecht”. Bagian Agraria pada Kementerian Dalam Negeri, Menteri Agraria, Kementerian Agraria, Departemen Agraria, Menteri Pertanian dan Agraria, Departemen Pertanian dan Agraria, Direktur Jenderal Agraria, Direktorat Jenderal Agraria pada Departemen Dalam Negeri, semuanya menunjukkan pengertian demikian.
Pada tahun 1988 di bentuk Badan Pertanahan Nasional dengan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, yang sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan.
Pemakaian sebutan pertanahan sebagai nama badan tersebut tidak mengubah ataupun mengurangi lingkup tugas dan kewenangan yang sebelumnya ada pada Departemen dan Direktorat Jenderal Agraria. Sebaliknya justru memberikan kejelasan dan penegasan mengenai lingkup pengertian Agraria yang dipakai di lingkungan Administrasi Pemerintahan. Adapun “administrasi pertanahan” meliputi baik tanah-tanah di daratan maupun yang berada di bawah air, baik air daratan maupun air laut.
Adanya jabatan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam Kabinet Pembangunan VI, juga tidak mengubah lingkup pengertian agraria.
Sebutan jabatan tersebut tampaknya dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa tugas kewenangan Menteri Negara Agraria adalah lebih luas dari dan tidak terbatas pada lingkup tugasnya  sebagai Kepala BPN yang disebut dalam Keppres No. 26 Tahun 1988 diatas (Keppres no.44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara).
Dalam Keppres No.44 Tahun 1993 ditentukan bahwa Menteri Negara Agraria bertugas pokok mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keagrariaan dan menyelenggaraakan antara lain fungsi: c. Mengkoordinasi kegiatan seluruh instansi pemerintah yang berhubungan dengan keagrariaan dalam rangka pelaksanaan program pemerintah secara menyeluruh.
Dengan adanya fungsi koordinasi tersebut kewenangan Menteri Negara Agraria lebih luas dari fungsi Menteri Agraria dulu yang memimpin Departemen Agraria, yang dalam tata susunan Kabinet Pembangunan VI ada pada Kepala BPN.
Pengertian Hukum Agraria adalah seperangkat hukum yang mengatur hak penguasaan atas sumber daya alam (natural resources) yang meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, bahkan dalam batas-batas yang ditentukan juga termasuk ruang angkasa.
Di dalam kaidah hukum positip, yaitu UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), disebutkan bahwa unsur-unsur keagrariaan meliputi :
a.       Bumi (Pasal 1 ayat 4 UUPA) yang meliputi:
-          Permukaan bumi (tanah);
-          Tubuh bumi yang terdapat di bawah tanah dan di bawah air.
b.       Air (Pasal 1 ayat 5 dan Pasal 47 UUPA) termasuk didalamnya perairan pedalaman (inland waters) seperti sungai, danau, rawa dan di laut wilayah/laut teritorial Indonesia.
c.       Kekayaan Alam yang terkandung di dalam bumi dan air (Pasal 1 ayat 2 UUPA) seperti bahan-bahan galian/barang-barang tambang, ikan, mutiara dan hasil laut lainnya.
d.       Unsur-unsur dalam ruang angkasa (Pasal 48 UUPA).


Dengan melihat unsur-unsur agraria tersebut, maka dapat kita ambil dua pengertian hukum agraria, yaitu Hukum Agraria dalam arti luas dan Hukum Agraria dalam arti sempit (Hukum Tanah).

Hukum Agraria dalam arti luas adalah seperangkat hukum yang mengatur hak penguasaan atas sumber-sumber alam (natural resources), yang meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk ruang angkasa.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka ruang lingkup Hukum Agraria meliputi :
-          Hukum tanah (Hukum Agraria dalam arti sempit), diatur dalam UUPA;
-          Hukum Air, diatur dalam UU No. 11 Tahun 1974, sebagimana diubah dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
-          Hukum Pertambangan, diatur dalam UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang telah diubah dengan uu No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi , pengganti UU No. 44?Prp/1960;
-          Hukum Perikanan, diatur dalam UU No. 31 Tahun 2004 Sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009;
-          Hukum Kehutanan, diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 (jo. UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang.
-          Hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas unsur-unsur dalam ruang angkasa. Hukum ruang angkasa dipelajari karena unsur-unsur dalam ruang angkasa diperlukan untuk kehidupan manusia. Perlu diketahui bahwa hukum ruang angkasa disini tidak sama dengan “space law”.
  Hukum Agraria dalam arti sempit (Hukum Tanah) adalah seperangkat hukum yang mengatur penguasaan atas permukaan tanah.
Sesuai dengan sistem perkuliahan di Fakultas Hukum, maka untuk mata kuliah Hukum Agraria dikhususkan mempelajari Hukum Agraria dalam arti sempit, yaitu Hukum Tanah. Untuk selanjutnya istilah untuk Hukum Agraria dalam tulisan ini dibaca sebagai Hukum Tanah.
Sebagai titik tolak pembahasan Hukum Agraria dalam buku ini adalah UUPA yang diundangkan dalam LN NO.104 tahun 1960 merupakan sumber utama Hukum Agraria terutama Hukum Agraria dalam arti sempit (Hukum Tanah), ini dapat dilihat dari konsideran dan sebagian besar isi (pasal-pasal) serta penjelasannya yang mengatur Hak Penguasaan atas Tanah.
Disamping adanya perbedaan pengertian antara Hukum Agraria dalam arti luas dan dalam arti sempit, apabila kita menyimak pendapat Prof. E. Utrecht dalam buku-buku yang ditulisnya, beliau menyamakan arti Hukum Agraria dengan Hukum Tanah dan menempatkan sebagai bagian  dari Hukum Administrasi Negara sebagaimana kelaziman penggunaannya di Indonesia dahulu.
Jadi karena dianggap sebagai bagian dari Hukum Administrasi Negara, maka Hukum Agraria pada masa itu diartikan sebagai keseluruhan peraturan yang memberikan landasan hukum kepada penguasa untuk melaksanakan politik pertanahannya sesuai dengan “kebijaksanaan” pemerintah Kolonial Hindia Belanda di bidang pertanahan yang bersumber pada Agrarische Wet 1870.
Apabila  kita hendak melihat dari latar belakang sejarah kepentingan pemerintah kolonial, tentu saja sangat logis kalau Hukum Tanah Administrasi ini mempunyai peranan penting sebab dengan peraturan tersebut penguasa memperoleh legalitas dan wewenang-wenang khusus untuk mengambil tindakan-tindakan yang dikehendakinya mengenai pengaturan masalah pertanahan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Hukum Tanah itu sendiri terbagi ndalam dua bagian, yaitu:
Hukum Tanah Administrasi; dan
Hukum Tanah Perdata, yakni peraturan-peraturan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang subyeknya manusia (perorangan) ataupun badan hukum.
Di Indonesia, Hukum Tanah Administrasi merupakan bagian yang sangat penting dari Hukum Tanah karena walaupun secara teoritis mempunyai perbedaan, tetapi secara praktis unsur-unsur Hukum Tanah Administrasi itu dapat kita jumpai dalam seluruh peraturan Hukum Tanah.
Walaupun tidak dinyatakan secara tegas, tetapi dari konsiderans serta Pasal-pasal dan penjelasan dapat disimpulkan bahwa pengertian Hukum Agraria dalam UUPA mengandung arti yang luas dan mencakup obyek yang meliputi bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya (Pasal 1 dan 2 UUPA), yaitu yang lazim disebut sumber-sumber alam..
Jadi Hukum Agraria yang dibicarakan disini adalah segi-segi hukumnya, yakni hak-hak penguasaan atas unsur-unsur sumber daya alam atau Agraria dalam arti luas.
Hak penguasaan tersebut ada pada subyek hu7kum manusia pribadi dan/ataubadan hukum.
Oleh karena itu, focus pembicaraan Hukum Agraria disini adalah hubungan hukum antara subyek hukum dengan obyeknya, yaitu unsur-unsur sumber alam.
Dalam pengertian yang luas itu Hukum Agraria merupakan suatu kelompok n sebagai bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan  atas sumber-sumber alam Indonesia; sehingga dengan sendirinya termasuk pula didalamnya arti yang sempit pula, yakni agraria dalam arti tanah atau Hukum Tanah, sebagai bagian hukum positip di Indonesia yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.
Yang dimaksud dengan hak-hak penguasaan atas tanah ini adalah hubungan hukum antara subyek (manusia/badan hukum) dengan obyek (tanah) yang dikuasainya; dan dari hubungan hukum ini timbul kewenangan bagi subyek hukum untuk berbuat sesuatu terhadap tanah sebagai obyek hukum tersebut.



                                                                 

Basyar, Bani Adam, An-Nas, Insan dalam Al-Qur'an

Di dalam Al-Qur'an, manusia disebutkan dalam empat kata yang berbeda yakni Basyar, Bani Adam, An-Nas,dan Insan. Secara khusus keempat ka...